Bisnis.com, JAKARTA -- Kinerja keuangan dan operasional emiten perkebunan sawit PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk. (SSMS) pada tahun depan diprediksi lebih rendah dibandingkan dengan tahun ini seiring dengan masih adanya sejumlah sentimen negatif dari global dan tren pelemahan harga CPO. Lalu, bagaimana strategi perseroan untuk menjaga kinerja agar tetap positif?
Data perseroan menunjukkan bahwa per November 2018, emiten dengan kode saham SSMS itu memproduksi CPO sejumlah 385.284 ton. Pencapaian tersebut tumbuh 28,31% dibandingkan dengan periode yang sama 2017 sebanyak 300.260 ton. Hingga akhir tahun, perseroan optimistis bisa memproduksi CPO hingga 400.000 ton.
Peningkatan produksi CPO sejalan dengan performa produksi tandan buah segar (TBS). Per November 2018, produksi TBS naik 29,36% year on year (yoy) menjadi 1,63 juta ton. Hingga akhir tahun, produksi TBS SSMS diharapkan menembus 1,7 juta ton.
Pendorong utama pertumbuhan produksi SSMS adalah pohon yang semakin dewasa dan memasuki tahap produksi tertinggi. Kebun SSMS rata-rata berumur 9 tahun, sedangkan pohon kelapa sawit memiliki tahap produksi tertinggi antara 9 hingga 20 tahun.
Namun demikian, moncernya kinerja produksi tahun ini kemungkinan tidak akan berlanjut pada tahun depan. Pasalnya, perseroan memperkirakan bahwa harga CPO masih dalam tren pelemahan pada tahun depan. Harga CPO diprediksi pada kisaran US$550 hingga US$600 per ton. Adapun, tahun ini harha CPO ada pada kisaran US$600 hingga US$650 per ton
Bukan hanya kinerja operasional, perseroan pun tak begitu optimistis dengan kinerja keuangan tahun depan. Chief Executive Officer Sawit Sumbermas Sarana Vallauthan Subraminam mengatakan bahwa meski perseroan yakin bisa meningkatkan kinerja top line, kinerja bottom line perseroan diprediksi sulit untuk naik signifikan.
"Tahun depan tantangannya masih ada, ada perang dagang antara AS dan China yang masih membayangi. Kemudian, juga harga CPO yang masih rendah bisa jadi sentimen negatif," jelasnya saat ditemui di kantornya di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Jumat (14/12).
Adapun, pendapatan SSMS per September 2018 mencapai Rp2,97 triliun. Nilai itu meningkat 24,87% yoy dari sebelumnya Rp2,38 triliun. Namun demikian, kenaikan beban umum dan administrasi, beban keuangan, dan pajak penghasilan badan membuat laba bersih perseroan terpangkas. Per September 2018, laba bersih SSMS turun 41,52% yoy menuju Rp363,40 miliar dari sebelumnya Rp616,36 miliar.
Namun demikian, perseroan tidak akan tinggal diam. Perseroan sudah menyiapkan sejumlah strategi untuk mempertahankan kinerja tetap positif pada tahun depan. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memacu pasar ekspor baru. Saat ini, perseroan mengapalkan CPO ke China dan India.
Pada kuartal I/2019, perseroan akan mulai melakukan roadshow ke sejumlah negara untuk mencari pasar ekspor baru. Sejumlah negara yang dituju antara lain Laos, Kamboja, Nepal, Burma, Uzbekistan, dan Bulgaria.
"Tim kami akan berangkat awal tahun depan ke sejumlah negara. Di Asean banyak, di negara lain juga potensinya cukup besar. Meski mungkin kebutuhan mereka tidak besar, tapi kan mereka butuh dan belum tersentuh," katanya.
Diperkirakan pada kuartal II/2019, emiten dengan kode saham SSMS itu sudah memiliki pasar ekspor baru. Menurutnya, dalam 2 bulan terakhir, kontribusi ekspor perseroan mencapai 70% dari total keseluruhan. Hal tersebut dilakukan karena melemahnya permintaan domestik akibat turunnya harga CPO dan menguatnya dolar Amerika Serikat sehingga perseroan memilih menggencarkan ekspor.
Bukan hanya akan memacu ekspor, perseroan juga akan melanjutkan strategi efisiensi dengan menekan cost of fund pada sejumlah operasional pada tahun depan.
COO Plantation SSMS Nasarudin Bin Nasir mengatakan bahwa ongkos operasional perusahaan saat ini cukup rendah karena posisi kebun yang berada di dalam satu wilayah. Hal ini membuat biaya logistik dan infrastruktur dapat dikontrol dan lebih hemat.
Untuk mengatasi pelemahan harga CPO, SSMS melakukan pembenahan secara harian agar operasional berjalan efektif dan efisien. Misalnya, dalam aplikasi mekanisasi pemupukan, dan penggunaan sistem teknologi informasi dalam mengontrol aktivitas.
Hal-hal semacam ini, menurutnya, walaupun tidak spesifik ditujukan untuk menghadapi harga CPO yang turun, tetapi sangat efektif untuk menjaga kesehatan keuangan perusahaan. Pasalnya, perseroan bercita-cita menjadi perusahaan kelas dunia.
"Mekanisasi pemupukan menggunakan kimia itu biasanya 1 hektare itu dilakukan oleh satu orang, tetapi dengan mekanisasi sekitar 30 hektare bisa hanya dilakukan oleh 6 orang saja. Ini sangat berpengaruh," jelasnya.
Vallauthan menambahkan bahwa menekan cost sangat penting dilakukan untuk menjaga kinerja keuangan tetap kuat. "Kami akan benar-benar fokus ke cost. Kalau harga turun, tetapi cost bisa dikontrol masih bisa untung meski margin turun. Intinya itu, bagaimana menekan cost dan penjualan tetap maksimal."
Perseroan juga tidak akan begitu ekspansif tahun depan. Hal ini terlihat dari alokasi belanja modal atau capital expenditure (capex) yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun ini. Capex yang anggarkan tahun depan senilai Rp600 miliar, sedangkan tahun ini senilai Rp677 miliar. Adapun, realisasi capex tahun ini hingga November 2018 baru terserap Rp291 miliar atau sekitar 43%.
"Kami benar-benar cari prioritas, kalau ekspansi lain lain bisa ditunda. Yang penting sekarang produksi tetap bagus," jelasnya.
Kemudian, perseroan juga erencana mengoperasikan tiga pabrik kelapa sawit (PKS) baru pada 2019 dengan total kapasitas 180 ton per jam. Saat ini, perseroan sudah mengoperasikan 6 PKS dengan kapasitas 300 ton per jam.
Vallauthan menyebutkan, pengembangan PKS dilakukan seiring dengan pertumbuhan produksi TBS dari lahan perseroan. Usia rata-rata kebun perusahaan yang berbasis di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah ini, kini berkisar 9 tahun.
Usia itu tergolong produktif dan sedang berada di dalam tren menanjak hingga mencapai puncaknya pada umur 10 tahun. Oleh karena itu, SSMS berencana menambah lahan tertanam. Tahun depan, perseroan berencana menambah 4.000 hektare.
Saat ini, perseroan mengoperasikan lahan tertanam seluas 86.000 hektare (ha), dengan perincian perkebunan inti 75.000 ha dan perkebunan plasma 11.000 ha. Adapun, luas area konsesi perkebunan perusahaan mencapai 95.000 ha.
Sementara itu, JP Morgan dalam publikasi risetnya menyebutkan, prospek SSMS cukup menarik karena ongkos produksi CPO yang rendah di antara perusahaan serupa di Asia Tenggara, yakni US$218 per ton.
“Dengan estimasi harga CPO 2018 US$570 per ton dan 2019 US$600 per ton, SSMS dapat menikmati margin yang tebal,” tulis riset tersebut.