Bisnis.com, JAKARTA – PT Adaro Energy Tbk. bisa dibilang salah satu penambang batu bara terbesar di Indonesia. Nah, bagaimana sih sepak terjang emiten berkode ADRO itu ketika awal didirikan hingga bisa sebesar sekarang?
Usut punya usut, nama Adaro berasal dari salah satu anak usaha ADRO yakni, PT Adaro Indonesia.
Pada 1982, Enadimsa, salah satu Badan Usaha Milik Negara Spanyol, melakukan kerja sama untuk eksplorasi di wilayah tambang daerah Kalimantan Selatan. Perusahaan asal Negeri Matador itu pun melakukan eksplorasi pada 1982-1989.
Enadimsa melakukan eksplorasi lewat entitas anak usaha bernama Adaro Indonesia. Perusahaan Spanyol itu memilih nama Adaro untuk menghormati keluarga Adaro yang berperan besar dalam kegiatan pertambangan Negeri Matador.
Namun, selepas masa eksplorasi, Enadimsa melepas 80% kepemilikannya di Adaro Indonesia ke konsorsium Australia-Indonesia. Konsorsium itu terdiri dari New Hope Corporation 40,8%, PT Asminco Bara Utama 40%, MEC Indocoal 8,2%.
Baca Juga
Pasca aksi akuisisi itu, Adaro Indonesia mulai melakukan studi kelayakan seperti, meletakkan dasar pembangunan proyek sampai membangun konstruksi jalan angkutan batu bara.
Adaro Indonesia resmi beroperasi secara komersial pada 22 Oktober 1992. Kala itu, perseroan mampu memproduksi batu bara sebesar 1 juta ton dalam setahun.
Polemik Kepemilikan Adaro Indonesia
Lalu, gejolak kepemilikan Adaro Indonesia mulai terjadi pada 1997. Kala itu, Asminco Bara Utama mengajukan pinjaman kepada Deutsche Bank Singapura senilai US$100 juta.
Asminco memberikan beberapa jaminan, salah satunya 40% saham Adaro Indonesia. Selain itu, Asminco juga menjaminkan saham PT Indonesia Bulk Terminal untuk pinjaman tersebut.
Sayangnya, Asminco, yang juga anak usaha Beckkett Pte., Ltd. tidak mampu melunasi utangnya ke Deutsche Bank. Alhasil, Deutsche Bank mengajukan eksekusi jaminan ke pengadilan negeri Jakarta Selatan pada 2001.
Keinginan Deutsche Bank itu pun dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengadilan menetapkan pelaksanaan eksekusi pada 15 Februari 2002.
Deutsche Bank melepas jaminan 40% saham Adaro Indonesia kepada PT Dianlia Setyamukti, perusahaan milik Edwin Soeryadjaya, senilai US$46 juta.
Namun, Beckket yang terafiliasi dengan Asminco selaku eks pemegang saham Adaro Indonesia keberatan dengan aksi eksekusi Deutsche Bank dan transaksi dengan Dianlia.
Beckkett pun menempuh jalur hukum lewat pengadilan tinggi Jakarta. Pada Maret 2005, penetapan PN Jakarta Selatan atas eksekusi jaminan oleh Deutsche Bank dibatalkan.
Kasus ini tidak berhenti sampai disitu, Pihak yang digugat oleh Beckkett melakukan banding ke pengadilan Singapura. Pihak pengadilan Negeri Singa memutuskan gugatan Beckett terhadap Deutsche Bank tidak terbukti.
Deutsche Bank dinilai sudah bertindak sesuai dengan hukum. Transaksi penjualan 40% saham Adaro Indonesia kepada Dianlia pun dinilai beritikad baik.
Di tengah polemik transaksi Dianlia, pengusaha Indonesia lainnya yakni, Benny Subianto dan Garibaldi Thohir, melakukan akuisisi 40,8% saham Adaro Indonesia milik New Hope melalui PT Alam Tri Abadi.
Saat itu, Adaro Indonesia pun dimiliki oleh investor asal Indonesia. Nah, para pemegang saham baru ini terus melakukan restrukturisasi, rekonstruksi, dan membayar utang Adaro Indonesia.
Pada 2008, para pemegang saham sepakat menjadikan PT Padang Karunia, perusahaan di bawah Padang Karunia Group milik T.P Rachmat dan Garibaldi Thohir, sebagai induk usaha Adaro Indonesia. Setelah itu, Padang Karunia berganti nama menjadi Adaro Energy dan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Adaro Energy melepas 11.13 miliar sahamnya ke publik dengan harga penawaran Rp1.100 per saham.
Pasca IPO
Setahun setelah IPO, ADRO menerbitkan obligasi senilai US$800 juta dengan tenor 10 tahun.
Lalu, ADRO melebarkan sayapnya ke luar Kalimantan Selatan pada 2010. Perusahaan batu bara itu mengakuisisi 25% proyek IndoMet Coal, perusahaan patungan dengan PBH Billiton yang berada di Kalimantan Tengah.
Perseroan kian semangat melakukan akuisisi pada periode 2011-2017. Perseroan melakukan beberapa aksi akuisisi pada beberapa sektor seperti, batu bara sampai pembangkit listrik.
Saat ini, Adaro Energy akan memperbesar porsi ekspor thermal coal pada 2019 ke Vietnam dan Asean. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi perlambatan pertumbuhan ekonomi global serta ketegangan lanjutan antara Amerika Serikat dan China.
Selain itu, perseroan juga mulai mengembangkan pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan.
Sampai kuartal III/2018, komposisi pemegang saham ADRO yakni, Adaro Strategic Investment 43,91%, Garibaldi Thohir 6,18%, Edwin Soeryadjaya 3,29%, T.P Racmat 2,54%, Arini Subianto 0,25%, Christian Ariano Rachmat 0,06%, 0,05% Julius Aslan, David Tendian 0,03%, Chia Ah Hoo 0,03%, dan 43,66% sisanya dimiliki pemegang saham lainnya.
Pada kuartal ketiga tahun ini, ADRO mencatat kenaikan pendapatan sebesar 8,33% menjadi US$2,6 miliar. Namun, laba tahun berjalan perseroan turun 14,98% menjadi US$351,7 juta.