Bisnis.com, JAKARTA -- Dolar AS melemah pada Jumat (27/7/2018) seiring kekhawatiran berlanjutnya perang dagang pada semester II/2018.
Pelemahan dolar AS terjadi meskipun data ekonomi Negeri Paman Sam menunjukkan penguatan tertinggi dalam hampir empat tahun terakhir.
Dilansir dari Reuters, Sabtu (28/7/2018), euro mulai stabil setelah sempat jatuh menyusul keputusan bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) untuk mulai mengakhiri kebijakan moneternya selama ini.
Pelemahan dolar AS mulai terjadi setelah Pemerintah AS melaporkan pertumbuhan PDB sebesar 4,1% pada kuartal II/2018. Capaian ini jauh lebih baik dari kenaikan 2,2% pada kuartal sebelumnya.
Namun, Alan Ruskin, Global Head of Currency Strategy Deutsche Bank di New York, mengatakan secara keseluruhan realisasi itu masih lebih lambat dibandingkan perkiraan.
Sementara itu, Juan Perez, senior currency trader di Tempus Consulting di Washington, menilai data ekonomi yang kuat menahan pelemahan dolar AS yang lebih dalam.
"Saya meyakini kondisi ekonomi kita yang stabil mencegah dolar AS dari kejatuhan lebih dalam," paparnya.
Pertumbuhan PDB yang besar juga memperkuat anggapan bahwa The Fed bakal kembali menaikkan suku bunganya, yang sebenarnya positif bagi dolar AS.
Indeks yang memantau pergerakan dolar AS terhadap euro, yen, pounds, dan tiga mata uang lainnya turun 0,09% ke level 94,662.
Menurut data EBS, euro naik 0,14% menjadi US$1,16 sedangkan dolar AS turun 0,2% menjadi 111 yen.
Euro mulai stabil setelah turun 0,7% pada Kamis (26/7) sebagai respons keputusan ECB untuk mengakhiri program stimulus sebesar 2,6 triliun euro tahun ini. ECB juga memutuskan mempertahankan suku bunganya hingga pertengahan tahun depan.
Adapun yuan China masih melanjutkan reli pelemahan terpanjang sejak November 2015, turun ke level 6,83 per dolar AS. Yuan sudah tertekan sejak Presiden AS Donald Trump mengancam menerapkan tarif impor terhadap produk-produk Negeri Panda.