Bisnis.com, JAKARTA--Emiten perunggasan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPIN) menargetkan pembukuan laba bersih melampaui Rp3 triliun seiring dengan peningkatan pendapatan dan upaya menekan beban operasional.
Presiden Direktur Charoen Pokphand Indonesia Tjiu Thomas Effendy menyampaikan, pada 2018 perseroan menargetkan pertumbuhan pendapatan 12% year on year (yoy). Adapun, kenaikan laba diharapkan naik lebih dari 20% yoy menjadi Rp3 triliun.
"Target kami pada 2018 penjualan naik 12%, profit bisa tumbuh 20%. Jadi [laba bersih] bisa sampai Rp3 triliunan," tuturnya, Rabu (23/5/2018).
Dengan estimasi kenaikan 12%, pendapatan perseroan pada 2018 dapat mencapai Rp55,29 triliun dari realisasi tahun lalu Rp49,37 triliun. Adapun, target laba Rp3 triliun tumbuh 20,48% dari pencapaian laba bersih 2017 senilai Rp2,49 triliun.
Per Maret 2018, pendapatan perusahaan terkoreksi 1,33% yoy menjadi Rp11,85 triliun dari sebelumnya Rp12,01 triliun. Namun, laba bersih melonjak 59,15% yoy menuju Rp995,79 miliar dari kuartal I/2017 sejumlah Rp625,66 miliar.
Rincian komposisi pendapatan ialah divisi pakan berkontribusi Rp5,75 triliun, ayam pedaging Rp3,36 triliun, Day Old Chicken (DOC) Rp1,28 triliun , ayam olahan Rp989,74 miliar, dan lain-lain Rp472,78 miliar.
Baca Juga
Thomas menyampaikan, untuk mencapai target pendapatan dan laba, perusahaan tidak berfokus kepada salah satu divisi usaha, karena model bisnis CPIN yang terintegrasi. Oleh karena itu, komposisi pemasukan dari masing-masing sektor cenderung serupa seperti tahun sebelumnya.
Menurutnya, peningkatan laba bersih pada kuartal I/2018 ditunjang kenaikan harga ayam di pasar karena pertumbuhan permintaan. Namun, proyeksi harga cenderung melambat pada paruh kedua 2017 seiring dengan lewatnya momentum Lebaran.
Oleh karena itu, perseroan menerapkan strategi efisiensi dengan memelajari ongkos dalam setiap proses produksi. Tujuannya adalah menjaga biaya pokok, sehingga profit lebih baik.
"Kalau fluktuasi harga ayam kan faktor eksternal, itu tidak bisa kami prediksi. Tinggal internalnya kami jaga ongkos produksi, karena ongkos produksi cenderung sama," paparnya.
Salah satu elemen yang masuk dalam ongkos produksi ialah bahan baku impor untuk pakan ternak sekitar 30%. Dengan adanya fluktuasi rupiah, biaya pembelian bahan baku seperti bungkil kedelai meningkat. Adanya kenaikan ongkos menyebabkan harga jual pakan kepada konsumen menanjak.
Untungnya, sambung Thomas, komoditas jagung yang berkontribusi 50% dalam komponen pakan ternak seluruhnya berasal dari domestik. Harganya pun cenderung lebih stabil di kisaran Rp3.500--Rp3.700 per kg.
Menurutnya, industri perunggasan Indonesia masih sangat prospektif. Pasalnya, konsumsi daging ayam per kapita pada tahun lalu baru berkisar 12,8 kg per kapita per tahun. Jumlah itu dibandingkan dengan Malaysia sekitar 40 kg per kapita per tahun.
Salah satu permasalahan konsumsi ialah distribusi unggas, karena Indonesia memiliki 17.000 pulau. Tak heran konsumsi daging ayam di pedesaan berkisar 4-5 kg per kapita per tahun, sedangkan di Jakarta sudah mencapai 26 kg per kapita per tahun.
"Makanya kami sangat mengapresiasi langkah pemerintah yang membangun dari pedesaan. Kalau pertumbuhan konsumsi daging ayam meningkat, ini berpengaruh signifikan bagi industri," paparnya.