Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom memproyeksi pelemahan nilai tukar rupiah diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir tahun ini jika sentimen terus negatif.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan ada beberapa faktor yang membuat kurs rupiah melemah.
Sejumlah faktor itu antara lain; investor melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan Fed Rate pada rapat FMOC tanggal 1-2 Mei. Spekulasi ini membuat capital outflow di pasar modal mencapai Rp7,78 triliun dalam sebulan terakhir.
"Kenaikan yield atau imbal hasil treasury bond jelang rapat Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun. Efek kenaikan rating dari Moodys di offset dengan risiko eksternal cenderung meningkat," katanya kepada Bisnis, Senin (23/4/2018).
Selain itu, harga minyak mentah diprediksi naik lebih dari US$75 per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian Perang Dagang AS-China. Hal itu membuat inflasi jelang ramadan semakin meningkat karena harga BBM nonsubsidi menyesuaikan mekanisme pasar.
Inflasi dari pangan juga perlu diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam sebulan terakhir.
Tak hanya itu, permintaan dolar AS diperkirakan naik pada kuartal II/2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengkonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar.
Bhima menambahkan faktor defisit transaksi berjalan tahun ini semakin melebar diperkirakan hingga 2,1% terhadap PDB. Selain karena keluarnya modal asing juga karena defisit neraca perdagangan yang diperkirakan akan kembali terjadi jelang Lebaran karena impor barang konsumsinya naik.
Indikasi lain, lanjut Bhima, konsumsi rumah tangga masih melemah terbukti dari Indeks Keyakinan Konsumen dan data penjualan ritel yang turun pada kuartal I/2018.
"Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang ditarget tumbuh 5,4%," ujar Bhima.
Dirinya menilai sejumlah langkah antisipasi yang dapat dilakukan yakni, pemerintah disarankan untuk memperkuat kinerja ekonomi domestik karena sebagian besar yang mempengaruhi pelemahan rupiah adalah fundamental ekonomi.
Selanjutnya, pemerintah perlu mendorong efektivitas proyek infrastruktur, bansos harus lebih tepat sasaran dan jangan terlambat disalurkan, menjaga stabilitas harga baik BBM, listrik maupun harga pangan jelang puasa sehingga konsumsi rumah tangga yang berperan 56% terhadap PDB bisa pulih.
Selain itu, pengusaha terutama yang memiliki Utang Luar Negeri diharapakan untuk melakukan hedging atau lindung nilai. Fluktuasi kurs dapat membuat risiko gagal bayar utang valas meningkat. Kemudian bagi perusahaan yang bersiap membagikan dividen perlu mempersiapkan pasokan dolar untuk memitigasi semakin mahalnya kurs dolar .
Terakhir, cadev pastinya akan terus tergerus untuk stabilitas nilai tukar. Bank Indonesia tidak bisa andalkan cadev sebagai satu-satunya instrumen untuk stabilitas nilai tukar.
Bhima menilai Bank Sentral harus lebih kreatif gunakan cara lain. Menurut dia, apabila cadangan devisa terus menerus berkurang maka bisa berbahaya bagi perekonomian.
Di Asia Tenggara misalnya rasio cadangan dvisa terhadap PDB Indonesia salah satu yang terendah yakni 14%. Filipina saja sudah 28%, dan Thailand 58%. Cadangan devisa menentukan kekuatan moneter suatu negara.