Bisnis.com, JAKARTA – Rupiah kembali melemah di hadapan dolar AS pada Senin (23/4/2018) dengan penurunan 82 poin atau 0,59% di Rp13.975 per dolar AS pada sesi penutupan. Nilai tersebut terpaut jauh apabila dibandingkan dengan 30 Maret yang berada pada posisi Rp13.728 per dolar AS.
Dolar AS kembali menguat sejak dua pekan terakhir menyentuh angka tertinggi setelah kemunculan hasil obligasi AS, dengan treasury yields selama 10 naik sebanyak 2,96%, posisi tertinggi sejak Januari 2014. Selain itu juga disebabkan oleh berkurangnya risiko geopolitik.
“Penyebab rupiah melemah terhadap dolar AS ada tiga faktor eksternal,” kata Faisyal, Analis PT Monex Investindo Futures pada Bisnis, Senin (23/4/2018).
Faktor pertama karena pertumbuhan perekonomian AS semakin membaik setelah kenaikan treasury yields.
Kedua, adanya komentar hawkish bahwa The Fed berwacana akan menaikan suku bunga secara agresif tahun ini, yang turut mendorong penguatan dolar AS. Pejabat Federal Reserve mengisyaratkan kenaikan suku bunga lebih lanjut pada 2018 berdasarkan bukti kestabilan pertumbuhan ekonomi AS.
Ketiga, berkurangnya kekhawatiran akan masalah geopolitik. Pada Sabtu lalu, Korea Utara memutuskan untuk menunda tes peluncuran nuklir dan rudal yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan perdamaian.
Baca Juga
Penguatan dolar AS tidak hanya menyebabkan pelemahan pada rupiah saja. Namun, juga berpengaruh juga terhadap pelemahan sejumlah mata uang utama lainnya.
Terhadap yen, dolar mencapai level tertinggi selama dua bulan pada posisi 107,89 yen per dolar AS, dengan nilai pada penutupan sebelumnya berada pada 107,85 yen. Posisi tersebut naik 0,2% dari perdagangan AS pada Jumat lalu.
“Momentum penguatan dolar AS ini kemungkinan akan bertahan hingga muncul headline negatif,“ ujar Stephen Innes, Kepala Perdagangan Asia-Pasifik untuk Oanda di Singapura.
Selain kekhawatiran akan risiko geopolitik, ketakutan akan perang dagang antara AS dengan China juga saat ini semakin memudar, kata Innes.
Pada Minggu (22/4/2018), Menteri Perdagangan China mengatakan akan menyambut pejabat AS untuk mendiskusikan perdagangan dan masalah ekonomi.
Selain yen, dolar AS juga menguat di hadapan euro, yang tergelincir 0,2% menjadi US$1,2266.
Pada Jumat lalu, euro menyentuh nilai terendah selama dua minggu pada posisi US$1,2250 karena investor memangkas posisi panjang euro menjelang pertemuan kebijakan Bank Sentral Eropa pekan ini. Pembuat kebijakan diharapkan agar memberi sinyal supaya tidak melakukan perubahan kebijakan.
Sementara itu, menguatnya dolar AS terhadap rupiah dinilai tidak akan mempengaruhi perekonomian dan inflasi di Indonesia.
“Dari segi inflasi, Indonesia masih aman. Pengaruhnya akan terlihat pada investor asing, yang akan beralih menggunakan dolar dibandingkan rupiah. Hal itu menambah sentimen negatif terhadap rupiah,” kata Faisyal.
Selain itu, menurutnya pelemahan rupiah lebih berpengaruh pada isu politik. Pemilihan umum Indonesia mendatang menimbulkan ketidakpastian politik yang sangat dihindari oleh investor asing.