Bisnis.com, JAKARTA – Penyusutan pasokan nikel secara global dan prospek pertumbuhan permintaan di China mendorong penguatan 8,19% pada harga komoditas tersebut sepanjang tahun berjalan.
Pada penutupan perdagangan Selasa (30/1), harga nikel di London Metal Exchange (LME) menguat 155 poin atau 1,14% menjadi US$13.805 per ton, level tertinggi di 2018. Angka itu menunjukkan bahwa sepanjang tahun berjalan harganya menguat dengan pertumbuhan tertinggi setelah timah.
Nikel sempat menyentuh level terendah di US$12.410 per ton pada 17 Januari 2018. Adapun pada 2017, harga nikel tumbuh 41,22% setelah ditutup di level US$12.738 per ton.
Analis Wood Mackenzie Adrian Gardner menuturkan bahwa tahun ini harga nikel diawali dengan pergerakan positif dan terlihat memiliki prospek hingga beberapa tahun ke depan, seiring dengan kondisi pasar yang defisit.
“Pada tahun ini diperkirakan pasar nikel mengalami defisit antara 80.000–90.000 ton pada tahun ini, menyusul defisit yang sama di 2017,” kata Gardner.
Berdasarkan laporan dari Internarional Nickel Study Group (INSG), pada 2018 produksi nikel diproyeksikan meningkat dari tahun sebelumnya mencapai 6,98% menjadi 2,21 juta ton. Adapun dari segi konsumsi, diprediksi bakal naik 4,82% menjadi 2.26 juta ton.
INSG mencatatkan produksi nikel utama dunia pada 2017 mencapai 2,05 juta ton, mengalami kenaikan 2,97% dari tahun sebelumnya sebesar 1,99 juta ton. Sementara itu dari segi konsumsi, penggunaan nikel diprediksi mencapai 2.15 juta ton, naik 5,25% dari 2.04 juta ton dari 2017.
Selama ini, impor nikel dari China berkontribusi sekitar separuh dari keseluruhan konsumsi global dan potensinya bakal naik. Gardner mengatakan, melonjaknya permintaan China itu diperkirakan mendorong harga nikel yang telah mampu mencapai level tertinggi dalam lebih dari 2 tahun.
Impor nikel China tercatat meningkat dua kali lipat pada periode Desember 2017 dari tahun sebelumnya menjadi 41.315 ton. Komoditas itu banyak digunakan pada stainless steel dan baterai untuk komponen kendaraan listrik.
Analis Asia Trade Point Futures Andri Hardianto mengatakan bahwa kenaikan harga nikel baru–baru ini didorong oleh kondisi terganggunya pasokan di Filiphina, produsen nikel terbesar di dunia.
“Harga nikel naik di tengah rilis data PMI China yang melambat ini adalah potensi gangguan pasokan dari Filipina,” ungkap Andri kepada Bisnis, Rabu (31/1/2018).
Pada Rabu (31/1), data purchasing managers index (PMI) manufaktur China terbaru dirilis dengan angka penurunan menjadi 51,3, tercatat lebih rendah dari periode Desember sebesar 51,6 dan dari konsensus sebesar 51,5.
Sementara itu, data PMI nonmanufaktur resmi naik menjadi 55,3 dari 55 pada periode Desember. Kendati demikian, indeks di atas 50 sudah mengindikasikan adanya ekspansi.
Andri menjelaskan bahwa sentimen melambatnya PMI China yang cenderung melemahkan harga itu tidak lebih kuat jika dibandingkan dengan sentimen dari terganggunya pasokan di Filipina yang cenderung menguatkan harga.
“Kebijakan kenaikan pajak terhadap perusahaan tambang oleh pemerintahan Duterte menjadi faktor penundaan operasional tambang, sehingga berpengaruh mengganggu produksi nikel,” kata Andri.