Bisnis.com, JAKARTA – Produksi gandum global diprediksi akan melonjak pada musim 2017/2018, sehingga mendorong penekanan harga komoditas perkebunan tersebut.
Selama 3 sesi berturut—turut hingga Selasa (16/1/2018), harga kontrak tertekan setelah rilis laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) pada Jumat (12/1/2018).
Posisi gandum di Chicago Board of Trade (CBOT) kontrak teraktif Maret 2018 melemah 3,25 poin atau 0,77% menjadi US$417,25 sen per bushel, mencatat penurunan 3 sesi berturut–turut. Harga mengalami penurunan drastis dari US$433,25 pada 11 Januari dan anjlok 3% ke level US$420,50 pada 12 Januari 2018.
Perdagangan komoditas itu terus mengalami pelemahan hingga dini hari meski ada hari libur pada Senin lantaran liburan Martin Luther King Jr. Sepanjang tahun, harga melemah hingga 2,28%, sedangkan pada tahun lalu harga juga merosot hingga 16,07%.
Dilansir dari Bloomberg, penurunan harga kontrak hingga 3% baru–baru ini terjadi setelah USDA memperkirakan pada musim 2017/2018, produksi global bakal melimpah.
Berdasarkan data USDA, pada musim 2017/2018, produksi global diperkirakan meningkat lantaran panen yang lebih besar di Rusia dan berpotensi melebihi produksi di AS dan Uni Eropa. Hal itu dipicu oleh tingkat kenaikan ekspor Rusia dari data terbaru.
USDA menaikkan perkiraan ekspor Rusia dengan pertumbuhan 4,5% menjadi 35 juta ton. Pasalnya, hingga 10 Januari, Negara Tirai Besi itu telah mengapalkan 21,8 juta ton gandum, naik 34% dari tahun sebelumnya.
Di sisi lain, analis menuturkan, persediaan Rusia yang diprediksi semakin melimpah itu dikhawatirkan bisa terus mendorong harga menjadi terkoreksi.
Institute for Agricultural Market Studies (IAMS) mengungkapkan bahwa keuntungan harga dari pengaruh gandum Rusia yang mencapai level tertinggi selama 2 bulan mungkin tidak akan bertahan lama.
“Pasalnya, prospek produksi yang lebih besar pada pasokan global dapat membebani harga,” papar IAMS.