Bisnis.com, JAKARTA—Perdagangan gandum mengalami koreksi tiga sesi berturut—turut pada awal 2018 ini, seiring segera berakhirnya musim dingin dan menyusul suhu yang lebih hangat pada minggu depan di negara produsen.
Amerika Serikat sebagai negara penyetok gandum terbesar kedua setelah China telah keluar dari cuaca dingin ekstrem yang telah menimbulkan risiko winterkill pada tanaman gandum.
CRM AgriCommodities, lembaga penyedia informasi perdagangan biji-bijian, mengatakan suhu yang lebih hangat di Amerika Serikat segera berlangsung pada pekan depan.
Kondisi cuaca AS dari sebelumnya yang sangat dingin telah membuat hedge fund sedikit kurang waspada terhadap pasar gandum yang sebelumnya terbebani surplus global selama bertahun–tahun. Posisi pasokan berlebih itu membuat harga mengalami penurunan.
Laporan CRM Agri itu mencatat bahwa penurunan harga gandum dipicu oleh stabilnya suplai setelah kondisi tanaman pada musim dingin di AS membaik, sehingga hasil panen aman dan mengurangi risiko pengurangan stok.
“[Harga] gandum mencatat penurunan sementara dan tidak meningkatkan kekhawatiran signifikan,” ungkap laporan Agritel, perusahaan riset pertanian global, seperti dilansir dari Bloomberg, Senin (8/1/2017).
Mark Hodges, Direktur Eksekutif Plains Grains, lembaga riset dan pemasaran gandum di Stillwater, Oklahoma, mengatakan masih terlalu dini untuk mengetahui tingkat pengaruh akibat cuaca dingin yang mengancam produksi.
Selain itu, masih belum pas untuk memperkirakan potensi kekeringan yang prediksinya berkepanjangan.
Hodges menyatakan, kondisi membaiknya cuaca memang berpengaruh pada penambahan stok. Risiko kelebihan persediaan itu menekan harga gandum selama musim dingin. Posisi penurunan itu terjadi setelah futures sempat menguat ke level tertinggi enam minggu pada akhir tahun lalu.
Sementara itu, perdagangan berjangka komoditas gandum pada penutupan Jumat (8/1) di Chicago Board of Trade (CBOT) kontrak pengiriman Maret 2018 turun 0,03 poin atau 0,75% menjadi 4,31 per bushel, penurunan tiga sesi berturut-turut. Kendati posisinya terkoreksi secara year to date (ytd), harga tercatat tumbuh 0,35%.
Pada tahun lalu, harga komoditas perkebunan ini melemah 13,39%. Level terendah sebesar US$4,1 per bushel dicapai pada 12 Desember 2017, sementara level tertinggi dicapai sebesar US$5,93 per bushel pada 11 Juli 2017.