Bisnis.com, JAKARTA – Harga tembaga di London Metal Exchange (LME) melonjak hingga level tertinggi dalam hampir empat tahun terakhir setelah China memerintahkan produsen utamanya untuk menghentikan produksi dalam upaya mengurangi polusi pada musim dingin.
Tercatat, pada penutupan perdagangan Rabu (27/12/2017) di LME, harga tembaga menguat 115 poin atau 1,61% menjadi US$7.240 per ton seiring dengan perdagangan yang berlanjut pasca liburan Natal.
Pada perdagangan sebelumnya, harga menyentuh level US$7.259 per ton, tertinggi sejak Januari 2014. Tembaga telah meningkat sembilan sesi berturut-turut, reli terpanjang sejak 2004. Sepanjang 2017, harga tumbuh hingga lebih dari 20%.
Dilansir dari Bloomberg, Jiangxi Copper Co, produsen tembaga terbesar China diperintahkan oleh pemerintah daerah untuk memotong produksi setidaknya seminggu sebelum asesmen baru dilakukan terhadap tingkat polusi lokal.
Di awal bulan ini pula, Tongling Nonferrous Metals Group, produsen tembaga terbesar kedua di Negeri Panda itu juga diminta melakukan pemotongan produksi. Hal ini memicu reli sepanjang tahun ini yang didorong oleh gangguan pasokan di tambang seiring dengan permintaan yang kuat.
“Berita shutdown China tentu saja menyokong harga tembaga lebih jauh,” kata David Meger, direktur perdagangan logam di High Ridge Futures di Chicago.
Produsen tembaga terbesar di dunia, Codelco, mengatakan harga bisa menguji rekor di atas US$10.000 per ton dan memproyeksikan adanya peningkatan defisit yang berkelanjutan. Adapun unit wealth management UBS Group AG memprediksi adanya prospek menguat pada harga tembaga pada tahun depan.
“Tembaga kemungkinan akan naik menjadi US$7.400 per ton pada 2018,” kata Dominic Schhider, Kepala Komoditas dan Valuta Asing Asia Pasifik di unit wealth management UBS.
Sebelumnya, The International Copper Study Group (ICSG) mengatakan defisit global mencapai 181.000 ton dalam sembilan bulan pertama tahun ini. Kemungkinan defisit akan terus berlanjut.