Bisnis.com, JAKARTA — Emiten pelayaran jasa logistik dan transshipment barang curah PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk. berencana melebarkan sayap usahanya pada bisnis minyak dan gas bumi, dari yang semula hanya mengandalkan pengangkutan batu bara.
Hari Ananthanarayanan, Direktur Utama Mitrabahtera mengatakan, tahun 2016 menjadi tahun yang menantang bagi bisnis jasa logistik batu bara di Indonesia, yang merupakan bisnis utama perseroan.
Meski akhirnya harga dan permintaan batu bara membaik di semester kedua, tetapi produksi masih minim sebab kebanyakan produsen masih memenuhi permintaan dengan penyimpanan dari hasil produksi yang belum dipasarkan.
Produksi batu bara nasional tahun lalu hanya sekitar 363 juta ton, turun 12,7% dibandingkan dengan produksi 2015 yang sebanyak 416 juta ton. Inilah yang menyebabkan tekanan terhadap bisnis MBSS sehingga mencatatkan peningkatan rugi tahun lalu sebesar 147% menjadi US$29,8 juta dari rugi 2015 sebesar US$12 juta.
“Kami menjajaki sumber pertumbuhan baru untuk diversifikasi 2017. Pada tingkat makro, kami percaya jasa transportasi batu bara tidak akan meningkat signifikan sepanjang tahun 2017,” katanya dalam acara paparan publik, Kamis (20/4/2017).
Di tengah tekanan pada pendapatan, MBSS berupaya mengefisienkan biaya produksi, meringkas proses bisnis, dan meningkatkan kualitas keselamatan kerja. Namun, tuturnya, MBSS tidak bisa selamanya mengandalkan efisiensi biaya untuk mendongkrak kinerja, tetapi juga harus meningkatkan pendapatan melalui diversifikasi bisnis.
Lucas Djunaidi, Wakil Direktur Utama Mitrabahtera mengatakan, MBSS besar karena bisnis logistik batu bara sehingga sangat berpengalaman di industri itu. Namun, melihat situasi pasar, perseroan merasa perlu untuk menjajaki objek pengangkutan lainnya selain batu bara.
Namun, menurutnya butuh waktu untuk merealisasikan rencana tersebut. Perseroan tahun ini kemungkinan baru akan menjajaki peluang diversifikasi tersebut, tetapi belum sampai pada tahap eksekusi mengincar kontrak tender-tender sektor yang baru.
Menurutnya, objek jasa logistik yang cukup potensial untuk dimasuki perseroan yakni minyak dan gas bumi. Dibandingkan dengan minyak, perseroan sendiri melihat peluang di sektor gas bumi lebih besar di Indonesia, mengingat program pembangkit listrik 35.000 MW dari pemerintah tidak saja mengandalkan tenaga batu bara tetapi juga gas alam cair.
“Kami melihat peluang di situ ada karena belum banyak juga yang punya kapasitas untuk terjun di situ. Jadi, kesempatan ada, tetapi player-nya sekarang terbatas ,” katanya.
Saat ini, pihaknya juga belum secara konkret menghitung kebutuhan belanja modal sekiranya rencana tersebut dieksekusi, sebab perseroan butuh armada jenis baru mengingat objek pengangkutan yang berbeda butuh jenis kapal berbeda dari yang sekarang ada.
“Kalau ada kesempatan, dapat kontrak jangka panjang, ada bank yang mau financing, margin-nya bagus, rate of return bagus, kenapa tidak? Sekarang kami lagi mencari tahu, kebutuhannya seperti apa karena spesifikasinya akan tergantugn permintaan konsumen,” katanya.
Selain MBSS, emiten sejenis lainnya yang memiliki rencana serupa yakni PT Logindo Samudramakmur Tbk. Emiten pelayaran dengan ticker LEAD ini selama ini melayani jasa logistik penyewaan kapal untuk mendukung aktivitas pengeboran minyak lepas pantai.
Eddy Kurniawan Logam, Presiden Direktur Logindo Samudramakmur mengatakan, bisnis minyak sangat fluktuatif. Tahun lalu, pendaptan perseroan turun 31% menjadi US$32,5 juta akibat lesunya industri minyak. Perseroan pun harus rela menderita rugi hingga US$20,96 juta, berbalik dari kinerja 2015 yang masih membukukan laba.
Atas dasar itu, perseroan ingin menjajaki bisnis pengangkutan gas alam cari atau LNG. Menurutnya, masa depan energi Indonesia ada pada gas bumi sebab cadangannya jauh lebih berlimpah dibandingkan minyak bumi.
Di sisi lain, pemerintah cukup serius untuk mendorong produksi LNG dengan mambangun sedikitnya 33 Fasilitas Penyimpanan dan Pencairan Gas atau Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) di seluruh Indonesia. Untuk mendukung itu, dibutuhkan kapal LNG untuk mendistribusikan gas alam ke FSRU tersebut.
“Ini yang kami lihat menarik sehingga kami ingin masuk di kemudian hari. Kita sekarang banyak berusaha, banyak belajar, dan akan ikut tender penyediaan kapal, bahkan unit regasifikasinya,” katanya.
Saat ini, belum ada kapal pengangkutan LNG yang siap di Indonesia sehingga emiten-emiten pelayaran mesti siap berinvestasi besar untuk pengadaan kapal bila ingin terjun di bisnis ini. Menurutnya, untuk satu unit kapal LNG harganya antara US$20 jtua hingga US$40 juta.