Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

HARGA SENG: Terus Menguat, Pasar 2017 Defisit

Setelah memimpin kenaikan harga logam pada tahun lalu, komoditas seng diperkirakan masih mengalami peningkatan di tahun ayam api seiring dengan meningkatnya defisit pasokan.
Ilustrasi/Reuters
Ilustrasi/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Setelah memimpin kenaikan harga logam pada tahun lalu, komoditas seng diperkirakan masih mengalami peningkatan pada tahun ayam api seiring dengan meningkatnya defisit pasokan.

Pada penutupan perdagangan Selasa (21/3), harga seng di bursa London Metal Exchange (LME) turun 35 poin atau 1,22% menuju US$2.829 per ton. Sepanjang tahun berjalan (year ton date/ytd), harga sudah meningkat 9,82%.

Kenaikan harga seng secara ytd sementara masih kalah dari aluminium dan timbal, yang masing-masing menghijau 13,82% dan 12,72%. Tahun lalu, bahan pelapis anti karat ini melonjak 57,84%, tertinggi di antara logam industri lainnya.

Dalam risetnya, tim analis JP Morgan yang dipimpin Fraser Jamieson menyampaikan, dalam jangka pendek harga seng masih dibayangi tren bullish akibat informasi mengenai penutupan smelter di China, sebagai produsen sekaligus konsumen terbesar di dunia. Sementara di Korea Selatan, sebagai pengolah seng terbesar kedua di dunia, tingkat produksi dikurangi akibat pengetatan pasokan bijih konsentrat.

Total produksi penambangan pada 2016 berjumlah 12,76 juta ton, turun 4,81% dari sebelumnya sebesar 13,41 juta ton. Volume pengolahan seng sebesar 13,4 juta ton, sedangkan konsumsi mencapai 13,73 juta ton. Artinya, tahun lalu pasar seng mengalami defisit sekitar 239.000 ton.

Menurut Jamieson, jumlah defisit pasar seng akan tumbuh menjadi 409.000 ton pada 2017. Perhitungan ini berdasarkan volume produksi olahan sebesar 13,57 juta ton dan konsumsi sejumlah 13,98 juta ton. Adapun penambangan bijih meningkat 7,58% menuju 13,73 juta ton.

"Sentimen utama yang memengaruhi harga ialah aktivitas pernambangan di China. Pengetatan masih mungkin dilakukan karena fokus memperbaiki harga dan perlindungan lingkungan," paparnya dalam riset yang dikutip Bisnis.com, Rabu (22/3/2017).

Kondisi defisit pasar akan mendorong harga mencapai puncaknya pada kuartal II/2017 di level US$3.050 per ton. Namun, harga berangsur normal seiring dengan tumbuhnya aktivitas penambangan dan operasional smelter. Pada kuartal IV/2017, rerata harga diperkirakan senilai US$2.800 per ton.

Volume pasokan diperkirakan kembali normal pada 2018, sehingga harga menjauhi tren bullish. Apalagi di pasar derivatif, investor dapat melakukan aksi jual sehingga menekan harga lebih jauh ke posisi US$2.475 per ton.

Tahun depan, pasar berbalik mengalami surplus sekitar 70.000 ton. Perhitungan ini didapat dari volume produksi olahan sebesar 14,3 juta ton dan konsumsi sejumlah 14,23 juta ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper