Bisnis.com, JAKARTA—Setelah mencatatkan performa mengesankan sepanjang 2016, harga seng diprediksi masih melanjutkan tren pertumbuhan sampai dua tahun ke depan. Kondisi defisit pasar seng konsentrat maupun olahan menjadi pemicu utama cemerlangnya nilai jual.
Pada penutupan perdagangan Jumat (28/10) harga seng di London Metal Exchange (LME) naik 32,5 poin atau 1,37% menjadi US$2.396 per ton. Angka tersebut menunjukkan seng menguat 48,94% sepanjang tahun berjalan.
Sebelumnya, seng sempat mencapai titik terendah di level US$1.468 per ton di awal Januari seiring dengan anjloknya bursa China. Hal tersebut menunjukkan proyeksi melemahnya permintaan dari Negeri Panda.
Dalam publikasi risetnya, Standard Chartered Bank memaparkan seng menjelma bagai logam dengan kenaikan tertinggi sepanjang tahun berjalan. Bahkan dalam enam sampai dengan sembilan bulan ke depan, harga masih berpotensi menanjak akibat defisit pasar seng konsentrat dan juga olahannya.
Pada 2017, rerata harga seng diperkirakan naik menjadi US$2.525 per ton, meningkat dari estimasi sebelumnya senilai US$2.125 per ton. Sementara pada 2018, rerata harga bertengger di US$2.650 per ton, menanjak dari proyeksi sebelumnya sebesar US$2.350 per ton.
Kondisi defisit pasar mulai ditanggapi produsen dengan memacu suplai baru. Pasalnya tingkat persediaan sudah berada di level terendah, sehingga pasar cenderung seimbang pada 2018.
Penggenjotan produksi diprediksi dimulai pada paruh kedua 2017, sehingga akan terasa dalam tahun berikutnya. Salah satu perusahaan besar yang memangkas produksi ialah Glencore sebesar 500 KTPA (kilo ton per annum/ 500.000 ton per tahun) pada Oktober 2015.
“Kecenderungan pengetatan pasar seng telah berakar dari konsentrat dan hambatan pasokan dari sejumlah tambang,” papar laporan yang dikutip Bisnis.com, Senin (31/10/2016).