Tingginya volatilitas pasar saham di awal tahun turut menyeret kinerja reksa dana saham. Menjadi satu-satunya indeks reksa dana yang memiliki performa negatif pada Februari, bukan berarti tak ada harapan. Diprediksi, kinerja akan membaik terdorong daya tahan perekonomian RI.
Data Infovesta Utama menunjukkan, kinerja reksa dana saham yang ditunjukkan indeks Infovesta Equity Fund Index sepanjang 2017 (per Februari) paling rendah dibandingkan dengan reksa dana terbuka lainnya.
Terlihat Infovesta Equity Fund Index sebesar 0,11% sepanjang tahun. Sedangkan Infovesta Balanced Fund Index 1,35% dan Infovesta Fixed Income Fund Index sebesar 1,73% atau tertinggi diantara yang lainnya.
Adapun, untuk kinerja bulanan (Februari), return reksa dana saham menjadi satu-satunya yang bertengger di zona negatif dengan -0,16%.
Meski demikian, sejumlah reksa dana saham masih menunjukkan kinerja yang positif. Sebut saja, Syailendra MidCap Alpha Fund yang mencatat return tertinggi pada Februari dengan 4,78%, disusul dengan Lippo Equity Plus dengan 3,73% dan Panin Dana Maksima 3,49%.
Kemudian, ada Pratama Dana Progresif Saham dengan return 3,48% dan BNP Paribas dengan kinerja 3,25%.
Dilihat dari komposisi nilai aktiva bersih (NAB), NAB reksa dana saham terlihat tergerus pada Februari ini. Pada akhir Januari, NAB atau dana kelolaan reksa dana saham mencapai Rp110,46 triliun, sedangkan per Februari tercatat Rp108,18 triliun dari total NAB industri reksa dana yang mencapai Rp345,22 triliun.
Hans Kwee, Vice President Investment PT Quant Kapital Investama mengatakan pergerakan pasar saham yang bervolatilitas tinggi membuat kinerja reksa dana saham terseret. Bila dilihat, kinerja IHSG memang mengalami pertumbuhan sepanjang tahun ini, tetapi bila dilihat secara merinci, kenaikan IHSG lebih disebabkan oleh kenaikan saham-saham lapis dua dan lapis tiga.
Sedangkan untuk saham bluechip, kebanyakan justru konsolidasi. Padahal, tidak sedikit manajer investasi yang menjadikan saham-saham bluechip sebagai aset dari produk mereka. Hal inilah yang pada akhirnya membuat kinerja reksa dana saham tergerus.
Adapun, ada sejumlah hal yang membuat pasar saham dalam negeri bervolatilitas tinggi. Salah satunya sentimen dari Amerika Serikat, yakni terpilihanya Presiden AS Donald Trump. Menurutnya, sejak Trump memimpin AS, penguatan dolar AS terus terjadi. Belum lagi indeks Dow Jones yang juga melesat.
“Ini tak terlepas dari kebijakan Trump terkait belanja infrastruktur. Kebijakan Trump membuat dolar AS naik dan membuat the Fed semakin pede untuk menaikkan suku bunganya lebih cepat,” jelas Hans saat dihubungi Bisnis.com, Jumat (3/3/2017).
The Fed kian percaya diri untuk bisa menaikkan suku bunganya lebih dari dua kali pada tahun ini. Menurutnya, peluang kenaikan FFR target pada Maret ini sudah mencapai 74%. Isu tersebut tentu memberatkan pasar saham
Sementara dari dalam negeri, sentimen yang membayangi tidak begitu besar. Sejumlah rilis data ekonomi cukup terkendali. Apalagi setelah Raja Salman dari Arab Saudi datang dengan iming-iming investasi.
“Dengan demikian, yang membuat pasar volatile dan kinerja reksa dana saham turun memang lebih karena faktor global. Ditambah lagi Prancis dan Jerman yang tahun ini menyelenggarakan pemilu. Setelah kuartal II, semoga membaik sehingga return reksa dana saham akhir tahun tetap positif.”
Terkait dengan portofolio aset produk reksa dana, sebaiknya manajer investasi memilih saham-saham yang lebih defensif dan tahan terhadap isu global, seperti saham bigcap dan consumer goods.
Presiden Direktur PT Asanusa Asset Management Siswa Rizali mengatakan, secara makro global, ancaman utama terhadap IHSG dan reksa dana saham adalah kenaikan fed fund rate target dan potensi pelemahan ekonomi China berlanjut.
Adapun, dari aspek valuasi yang dilihat dari price to book value ratio (PBV) dan PER IHSG, itu sudah relatif murah sehingga potensial delivery return bisa mencapai 12%-15% per annum dalam jangka panjang.
Dengan demikian, meski di awal tahun kinerja tidak memuaskan, kinerja reksa dana saham akan bergerak membaik. Apalagi, bila ekonomi Indonesia bisa sedikit lebih baik dari regional, maka ada potensi momentum IHSG untuk rally kuat.
Jadi, lanjutnya, daripada khawatir terhadap ketidakpastian fed fund rate dan pelemahan ekonomi China, Siswa lebih optimistis akan daya tahan ekonomi RI dan peluang membaiknya persepsi investor global atas RI. Dia menilai, kinerja reksa dana saham akan membaik ke depannya.
“Esensinya, dengan PBV 2,3X dan PER 16X, IHSG valuasinya netral. Maka kenaikannya akan seperti rerata jangka panjang, yakni 12%-15% per tahun. Bila ada perbaikan ekonomi, baru sentimen rally bisa lebih tinggi. Sebaliknya, bila ada risik, karena valuasi netral, maka koreksi relatif terbatas 10%-20% saja,” kata Siswa kepada Bisnis.com.
Berdasarkan catatan Bisnis, sebelumnya Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan, kinerja reksa dana saham yang negatif pada bulan lalu bisa disebabkan oleh penempatan saham yang keliru oleh manajer investasi (MI).
"Kemungkinan karena MI salah dalam melakukan penempatan sehingga return-nya negatif walaupun IHSG positif. Kenaikan saham juga lebih banyak pada saham menengah, sehingga mungkin ada yang tidak masuk sehingga ketinggalan," kata Rudiyanto, Rabu (1/3).
Kondisi berbeda terjadi di pasar obligasi. Pasalnya, kenaikan obligasi lebih merata sehingga kenaikan return dinikmati oleh semua reksa dana.
Sepanjang bulan lalu, Panin AM menempatkan dana pada saham-saham berkapitalisasi menengah yang naik cukup tajam. Hasilnya, return reksa dana saham Panin AM di atas rerata produk serupa. Enam reksa dana saham Panin AM mengantongi return positif sepanjang Februari 2017. Return tertinggi dicetak oleh Panin Dana Maksima, yakni sebesar 3,49% month on month.
"Maret ini market masih antisipasi kenaikan The Fed, tetapi rilis laporan keuangan diproyeksi positif walaupun belum banyak yang membaik," katanya.