Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Spekulasi China, Harga Alumunium Melonjak

Harga alumunium melanjutkan penguatan ke level tertinggi sejak Mei 2015 seiring dengan spekulasi China yang bakal memangkas persediaan dan produksi.

Bisnis.com, JAKARTA--Harga alumunium melanjutkan penguatan ke level tertinggi sejak Mei 2015 seiring dengan spekulasi China yang bakal memangkas persediaan dan produksi.

Pada penutupan perdagangan Selasa (24/1), harga alumunium di London Metal Exchange naik 17,5 poin atau 0,95% menjadi US$1.867 per ton. Angka ini merupakan level tertinggi sejak Mei 2015.

Pencapaian ke posisi US$1.867 per ton membuat harga alumunium meningkat 10,28% sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd). Pertumbuhan itu merupakan catatan tertinggi sementara di antara logam industri lainnya di LME pada 2017.

Daniel Hynes, senior commodities strategist Australia & New Zealand (ANZ) Banking Group, menuturkan ada sejumlah informasi mengenai rencana China menutup kapasitas produksi, sehingga mengerek harga alumunium. Sentimen ini dikombinasikan dengan AS yang mendorong World Trade Organization (WTO) bersikap terhadap China.

AS mempermasalahkan perihal subsidi pemerintah China untuk pelaku industri dalam negeri, sehingga meningkatkan produksi dan menekan harga global.

"Kombinasi tersebut hanya membuat risiko sisi suplai mereda, tetapi belum menjelaskan sisi permintaan. Namun, sentimen suplai saat ini menjadi fokus pasar, sehingga harga bisa meningkat," ujarnya seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (25/1).

Menurut salah satu sumber Bloomberg, pemerintah China menyusun rencana penghentian produksi alumunium sekitar 3,3 juta ton selama musim dingin untuk mengatasi polusi udara. Namun, rencana ini masih tertunda karena masih dalam proses konsultasi dengan pelaku industri.

Dalam draf perencanan tersebut, negara bakal memotong 30% kapasitas produksi atau sekitar 11 juta ton dari dari sejumlah smelter alumunium yang sudah berjalan di provinsi Hebei, Shandong, Henan, dan Shanxi.

Goldman Sachs Group Inc., dalam publikasinya menuliskan alumunium bisa membukukan peningkatan harga yang signifikan jika China, sebagai produsen terbesar di dunia, melanjutkan pengurangan aktivitas produksi. Langkah ini sekaligus mengantisipasi kebijakan pengetatan perdagangan dengan Amerika Serikat.

China menyumbang sekitar 50% pasokan alumunium dunia. Dengan estimasi negara mengurangi produksi sebesar 2,5 juta ton, maka pasar global menuju keseimbangan bahkan cenderung defisit antara 1,5-2,5 juta ton.

Berdasarkan data Bank Dunia, China merupakan produsen sekaligus konsumen alumunium terbesar di dunia. Pada 2015, produksi Negeri Panda mencapai 31,41 juta ton dari total global 57,34 juta ton, sedangkan konsumsi sebesar 31,07 juta ton dari total global 57,08 juta ton.

Rerata harga alumunium mencapai puncaknya pada November 2016 di level US$1.737 per ton, kemudian tergelincir ke US$1.728 per ton pada Desember 2016. Tahun lalu, rerata harga merosot 3,66% yoy menuju US$1.640.

Adapun pada 2017, rerata harga diperkirakan naik 5,98% yoy menjadi US$1.700 per ton. Sentimen yang memengaruhi ialah tumbuhnya permintaan dan pemotongan kapasitas smelter. Langkah tersebut dibutuhkan seiring dengan meningkatnya biaya pemurnian.

Namun demikian, berdasarkan analisis Bank Dunia, pasar global masih akan mengalami surplus suplai pada tahun ini karena pengaktifan kembali smelter idled di China dan negara-negara lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Rustam Agus

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper