Bisnis.com, JAKARTA – Produsen kertas PT Suparma Tbk. (SPMA) berencana untuk melakukan penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) dalam rangka restrukturisasi pinjaman.
Berdasarkan keterbukaan informasi yang dikutip Bisnis, Rabu (23/11/2016), perseroan menjelaskan penambahan modal tanpa HMETD itu dilakukan karena perseroan tidak mampu membayar kewajiban utangnya kepada kreditur sindikasi dan Channel Securities Pte. Ltd., Singapura yang akan jatuh tempo pada akhir Desember 2016.
“Dengan mempertimbangkan adanya tunggakan pembayaran bunga selama tiga periode terhadap pinjaman sindikasi dan Channel Securities serta penelaahan terhadap rencana usaha, [para kreditur] menyepakati dan menyetujui untuk mengkonversi utang pokok menjadi saham atau debt to equity swap,” paparnya.
Lebih lanjut manajemen menyebutkan perseroan mengajukan usulan untuk restrukturisasi utang dengan mengkonversi 80% pinjaman senilai Rp249,01 miliar menjadi 622,52 juta saham perseroan.
Perinciannya, utang kreditur sindikasi yang akan dikonversi menjadi saham adalah senilai Rp180,15 miliar menjadi 450,37 juta saham, dan utang Channel Securities senilai Rp68,86 miliar akan dikonversi menjadi 172,15 juta saham.
“Sebanyak 20% sisanya akan dilunasi perseroan dengan cara 10% dilunasi selambat-lambatnya akhir 2016 dan 10% harus dilunasi maksimal 30 September 2017,” tambahnya.
Adapun harga saham yang dikonversi disepakati sebesar Rp400 per saham. Selanjutnya, setahun setelah konversi, PT Gloriajaya Gempita sebagai pendiri Suparma harus membeli kembali (buyback) seluruh saham yang termasuk dalam debt to equity swap tersebut.
“Para kreditur menyetujui untuk membebaskan tunggakan bunga sebesar Rp44,37 miliar dan bunga atas pokok pinjaman Rp249,01 miliar yang dikonversi menjadi saham perseroan.