Bisnis.com, JAKARTA--Rupiah diprediksi bergerak fluktuatif menjelang rapat Bank Sentral AS pada 21-22 September 2016. Meskipun demikian, mata uang Garuda masih stabil di kisaran Rp13.150-Rp13.250 dalam sepekan ke depan.
Pada perdagangan Jumat (16/9/2016), rupiah ditutup menguat 20 poin ke level 13.155 per dolar AS dengan kurs tengah BI Rp13.131 per dolar AS. Dalam sepekan kemarin, rupiah melemah tipis 47 poin atau 0,36% dibandingkan minggu sebelumnya.
Andri Hardianto, Analis Asia Trade Point Futures, menuturkan pekan kemarin rupiah lebih dipengaruhi sentimen eskternal. Faktor utamanya ialah pernyataan pejabat Federal Reserve yang berbeda perihal kenaikan suku bunga.
Gubernur The Fed Boston, Eric Rosengren, menyatakan optimistis perihal pengerekan suku bunga dalam waktu dekat. Namun, Gubernur The Fed lainnya Lael Brainard berpendapat, tidak ada urgensi Bank Sentral AS menaikkan suku bunga secara cepat di tengah kondisi ekonomi yang belum cemerlang.
Pernyataan Brainard turut mengonfirmasi sebagian besar data ekonomi AS yang mengindikasikan belum stabilnya ekonomi domestik.
Pada Jumat (16/9), Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan indeks harga konsumer (consumer price index/CPI) menanjak 0,2% secara bulanan (m-o-m), melebihi proyeksi konsensus sebesar 0,1%.
Adapun secara tahunan (y-o-y), CPI yang tidak menyertakan makanan dan BBM meningkat 2,3%. Faktor tersebut membuat mata uang dolar pada penutupan pekan kemarin berhasil menguat 0,86% menuju 96,108 atau level tertinggi sejak Juli 2016.
Dari dalam negeri, lanjut Andri, kemajuan program pengampunan pajak terus menjadi sentimen positif terhadap rupiah. Apalagi setelah beberapa tokoh pengusaha di dalam negeri, seperti Rachmat Theodore Permadi dan Tommy Soeharto turut serta, sehingga membuat pelaku pasar percaya akan kesuksesan agenda ini.
Selain itu, Badan Pusat Statistik merilis pada Kamis (15/9) data neraca perdagangan periode Agustus 2016 mengalami surplus US$293,6 juta. Surplus sektor nonmigas senilai US$921,3 juta menjadi pemicu utama, meskipun sektor migas defisit US$627,7 juta.
Sentimen ini langsung menguatkan mata uang Garuda. Namun, BPS pun memaparkan, rupiah terdepresiasi 1% terhadap dolar AS sepanjang Agustus 2016.
Level terendah rata-rata nasional kurs tengah eceran rupiah terjadi pada minggu kelima yang mencapai Rp13.237,81 per dolar AS. Berdasarkan hitungan per provinsi, level terendah kurs tengah terjadi di Kalimantan Utara yakni Rp13.368,00 per dolar AS pada minggu keempat Agustus 2016.
Menurut Andri, faktor utama yang memengaruhi pergerakan rupiah pada pekan depan ialah gelaran Federal Open Market Committee (FOMC) yang berlangsung 21-22 September 2016. Harga akan bergerak di rentang Rp13.150-Rp13.250 per dolar AS.
"Harga rupiah akan fluktuatif, karena FOMC sangat menyedot perhatian pelaku pasar. Semua menunggu hasil pertemuan tersebut," ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (18/9/2016).
Andri memprediksi The Fed tidak akan menaikkan suku bunga pada pertemuan nanti, tetapi saat FOMC Desember seperti tahun kemarin. Bank Sentral AS dinilai masih akan menunggu dan melihat data makro di dalam negeri setiap bulan, juga pengaruh program stimulus di Eropa serta Asia, terutama Jepang dan China.