Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak kembali terombang-ambing dalam keterpurukan karena kelebihan produksi di Amerika Serikat, namun output sangat rendah.
Siang ini, pukul 13.07 WIB, minyak West Texas Intermediate (WTI) diperdagangkan turun hingga 1,89% ke US$32,76 per barel pada perdagangan Selasa (23/2/2016).
Adapun Brent, pukul 13.08 WIB menurun 1,59% ke US$34,14 per barel.
Turunnya harga minyak karena adanya peningkatan kekhawatiran akan output Iran karena kelebihan pasokan minyak mentah global. Hal ini di luar ekpektasi bahwa data penurunan produksi AS kemarin telah mendorong kenaikan harga yang tajam di sesi sebelumnya.
Eksportir minyak terbesar, yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia, telah mengusulkan untuk membekukan output pada Januari, dengan catatan jika yang lain ikut bergabung.
Sementara Iran, yang terbebas dari sanksi internasional yang merugikan perdagangan minyaknya, telah menyambut baik langkah tersebut dan berjanji untuk tidak bertindak sendiri.
Pialang Phillip Futures yang berbasis di Singapura mengungkapkan tanpa tindakan nyata (untuk memotong produksi), pihaknya akan tetap skeptis bahwa harga dapat bergerak lebih tinggi.
“Harga malah akan menghadapi tekanan yang kuat,” ujarnya, seperti dikutip dari Bloomberg.
Secara global, sekitar 1-2 juta barel minyak mentah diperkirakan akan diproduksi setiap hari lebih dari permintaan.
Direktur International Energy Agency (IEA) Fatih Birol memproyeksikan tahun ini produksi minyak AS bisa jatuh dari 600.000 barel per hari (bph) ke 200.000 barel per hari di 2017.
Dalam jangka panjang, produksi AS juga akan pulih pada peningkatan efisiensi biaya, mengangkat output ke rekor 14,2 juta barel per hari pada 2021, dibandingkan dengan puncak lebih dari 9,5 juta barel per hari pada tahun 2015.
“Kebangkitan yang diharapkan tersebut membuat perkiraan harga minyak bisa menyentuh US$80 per barel pada tahun 2020,” ucapnya saat konferensi pers di Houston, Texas.