Bisnis.com, JAKARTA - PT Mulia Industrindo Tbk. akan menggenjot ekspor tahun ini menjadi 10 juta m2 naik dari capaian tahun lalu yang hanya 5 juta m2, untuk mengatrol pendapatan perusahaan yang lesu pada 2015.
Merujuk pada laporan keuangan emiten yang memproduksi keramik dan kaca tersebut, pada periode Januari-September 2015 mengalami kerugian Rp247,7 miliar. Pada periode tersebut raihan penjualan perusahaan berkode MLIA itu mencapai Rp4,2 triliun.
Di sisi lain pada periode yang sama beban penjualan perusahaan tersebut mencapai Rp4,5 triliun. “Kami harus meningkatkan ekspor untuk mengatrol penjualan,” kata Direktur PT Mulia Industrindo Tbk. Hendra Herjadi Widjonarko kepada Bisnis, Rabu (13/1/2016).
Dia menyebut, ekspor pihaknya masih seputar kawasan Asia Tenggara. Tahun ini perusahaannya menargetkan untuk memproduksi sekitar 93 juta m2. Jumlah itu masih di bawah kapasitas total produksi yang bisa mencapai 95 juta m 2 dalam satu tahun.
Sedangkan pada 2015 Hendra mengatakan perusahaannya memproduksi keramik dank aca hingga 85 juta meter2. Sementara itu, untuk besaran belanja modal pada tahun ini pihaknya menargetkan hingga US$1 juta, dia mengklaim angka itu tidak berbeda jauh dari tahun sebelumnya.
Belanja modal tersebut akan berasal dari dana internal peusahaan. Disinggung target pendapatan dan laba bersih yang ingin dicapai tahun ini Hendra enggan berkomentar.
Akan tetapi menurutnya, kinerja emiten keramik sepanjang tahun lalu lesu akibat menurunnya kinerja sektor properti dan pembangunan infrastruktur yang terhambat pelambatan ekonomi.
Bahkan dia menyebut, pada 2015 pabrikan keramik sempat menurunkan harga jual beberapa kali dengan besaran harga Rp3.000 hingga Rp4.000 per meter persegi. “Terutama yang 40x40 cm,” terangnya.
Di sisi lain, pelemahan kinerja emiten keramik dank aca tersebut disebabkan harga gas industri yang melambung tinggi seiring nilai tukar rupiah yang terdpresiasi terhadap dolar Amerika Serikat.
Merujuk pada laporan keuangan MLIA selama sembilan bulan tahun tahun lalu biaya pabrikasi untuk bahan bakar mencapai Rp1 triliun naik dari waktu yang sama tahun sebelumnya yang hanya Rp950 miliar.
Menurut dia, untuk memproduksi keramik pabrikan tak memiliki pilihan dalam mengolah bahan baku menggunakan gas. Dalam satu bulan untuk memproduksi keramik dan kaca pihaknya memerlukan pasokan gas hingga 27 juta m3.
Menurutnya, harapan terbaik emiten keramik untuk menggenjot penjualan dan laba adalah turunnya harga gas industri dan stabilnya nilai tukar rupiah. “Beli gas pakai dolar. Jika harga gas turun kami memiliki margin yang lebih,” ucapnya.