Bisnis.com, JAKARTA— Rupiah pagi ini sempat melesat menembus level Rp14.100/US$. Penguatan tajam rupiah dipicu oleh aliran modal asing yang diperkuat oleh antisipasi kenaikan daya beli konsumen Indonesia.
Josua Pardede, Ekonom dari PT Bank Permata Tbk (BNLI), mengatakan rupiah dan mata uang ekonomi berkembang lain menguat tajam akibat sentimen dari Amerika Serikat.
Pasar dalam beberapa hari terakhir semakin yakin The Fed baru akan menaikkan suku bunga acuan pada 2016, setelah data penyerapan tenaga kerja dan kinerja industri jasa yang memburuk.
Keyakinan tersebut membangkitkan kepercayaan diri investor untuk masuk ke pasar yang dinilai lebih berisiko, termasuk Indonesia.
“Bukan hanya rupiah, semua di Asia dan emerging market. Apalagi data partisipasi tenaga kerja yang ada di level 10 tahun terendah,” kata Josua.
Namun, Josua menjelaskan penguatan rupiah lebih tajam karena kombinasi ekspektasi investor atas dampak kebijakan Bank Indonesia dan pemulihan daya beli masyarakat.
“Kalau di lihat, dari BI lebih efektif dibandingkan pemerintah. BI bilang baru Oktober, arahnya menarik devisa. Selama ini yang suplai dolar kan cuma BI,” katanya.
Pasar juga mengantisipasi tingkat konsumsi domestik membaik signifikan dalam waktu dekat karena kenaikan belanja pemerintah, inflasi tahunan yang diperkirakan merosot tajam pada Novemver, dan kebijakan jilid III pemerintah terutama rencana penurunan harga BBM.
“Paket kebijakan fiskal katanya lebih menyasar ke private spending. Kalau BBM dipangkas semestinya private consumption semakin meningkat artinya pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa lebih baik lagi,” kata Josua.