Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah diperdagangkan pada Kamis (10/9/2015) melemah 0,52% atau terdepresiasi 74 poin ke Rp14.336 per dolar Amerika Serikat pada pukul 12.00 WIB.
Kurs tengah Bank Indonesia ditetapkan pada level Rp14.322 per dolar AS. Nilai tukar rupiah yang masih tertekan ini karena ekonomi China yang masih melemah dan rencana Bank Sentrl Amerika Serikat yang akan menaikkan suku bunga acuannya atau Fed Fund Rate (FFR).
Direktur Eksekutif Institute Mandiri Destry Damayanti mengatakan kondisi saat ini tidak menentu yang berdampak pada bilai tukar rupiah.
"Saat ini ekonomi China tengah menjadi sorotan. Apalagi ekonomi mereka sedang memburuk. China sudah beberapa kali menurunkan suku bunga, ternyata masih melemah, maka kebijakan lebih difokuskan ke ekspor. Akibatnya nilai tukar yuan didevaluasi," ujarnya di Jakarta.
Destry menprediksi devaluasi mata uang yuan bakal berlanjut karena ekonomi China semakin melambat.
China, lanjutnya, tIdak punya pilihan lain lagi selain menurunkan nilai tukar yuan karena cara-cara lain yang telah ditempuh, seperti penurunan suku bunga itu tidak ampuh untuk menggenjot ekonomi mereka.
"Sebelumnya ekonomi China tumbuh pesat sehingga enggak ada alasan untuk devaluasi. Di 2012 dia mulai melambat, akhirnya dia menggenjot ekspor dengan mendevaluasi mata uangnya. Diprediksi tahun depan hanya 6% pertumbuhan ekonominya. Yuan bisa saja didevaluasi lagi, China masih overvalued di level sekitar 120% dari 100% pada tahun dasar 2010, ketika ekonomi sudah agak stabil, katanya," tutur Destry.
Dia menambahkan devaluasi lanjutan yuan ini akan sangat memukul perekonomian Indonesia dan negara-negara Asean lainnya. Bahkan, dampaknya dari devaluasi yuan ini bisa lebih besar daripada kenaikan suku bunga The Fed.
"Ini lebih berdampak bagi Indonesia dan Aseab, China itu jangkar ekonomi di Asia, kita face to face dengan mereka. Kalau ada pergerakan di sana, mau enggak mau kita kena. Kalau China devaluasi terus, competitiveness Malaysia, Thailand, dan Vietnam akan berkurang. Mau enggak mau mereka ikut mendevaluasi mata uangnya," katanya.
Langkah devaluasi mata uang China ini pun, lanjutnya, akan diikuti oleh Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Namun, Indonesia tidak dapat mengikuti langkah semacam itu karena kontribusi ekspor Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB tidak terlalu dominan.
"Kalau Indonesia kan ekonominya lebih berorientasi ke domestik dan kita impor bahan baku tinggi sekali. Kalau rupiah melemah, itu akan lebih memukul ekonomi domestik, 76% impor kita adalah bahan baku untuk produksi dan konsumsi domestik," ucap Destry. []