Bisnis.com, JAKARTA--Penerbitan produk reksa dana baru berjenis pendapatan tetap diprediksi bakal marak pada semester II tahun ini, terutama untuk pendapatan tetap yang memiliki aset obligasi korporasi.
Berdasarkan data PT Infovesta Utama, cukup banyak penerbitan reksa dana baru sepanjang tahun berjalan (year to date) per 16 Juni 2015. Adapun, sebagian besar didominasi oleh produk reksa dana terproteksi dengan jumlah 65 produk. Sementara, untuk reksa dana saham 19 produk dan reksa dana pasar uang 15 produk.
Untuk penerbitan produk reksa dana pendapatan tetap terbilang sedikit. Sepanjang tahun berjalan ini baru ada 8 produk reksa dana pendapatan tetap yang mendapatkan izin penerbitan efektif.
Namun, penerbitan produk reksa dana pendapatan tetap pada semester II diprediksi bakal marak seiring mulai bergairahnya kembali pasar obligasi yang merupakan underlying asset reksa dana pendapatan tetap.
Vilia Wati, analis PT Infovesta Utama mengatakan meski saat ini kondisi perekonomian sedang tidak bagus, sejumlah manajer investasi (MI) masih akan menerbitkan produk baru pada semester II ini. Kecenderungan produk yang dikeluarkan akan lebih konservatif, seperti reksa dana terproteksi dan reksa dana pendapatan tetap.
Adapun, underlying asset obligasi korporasi akan lebih banyak dipilih para MI dalam meracik produk reksa dana pendapatan tetapnya. Hal ini dikarenakan obligasi korporasi lebih sering dipegang hingga jatuh tempo oleh investor sehingga efek kondisi perekonomian terhadap pergerakan harga obligasi korporasi secara umum relatif lebih sedikit.
“Beda dengan SUN yang sering ditransaksikan sehingga perubahan kondisi perekonomian lebih cepat direspons oleh SUN. Jadi dengan kondisi seperti saat ini memang obligasi korporasi lebih pas karena pergerakannya yang lebih stabil,” kata Vilia kepada Bisnis.com, Selasa (23/6/2015).
Chief Investment Officer PT Batavia Prosperindo Asset Agung Budiono mengatakan dari 20 produk baru yang akan diterbitkan pada semester II/2015, dua produk berjenis pendapatan tetap. Menurutnya, pasar obligasi masih lebih baik saat ini dibandingkan dengan pasar saham.
“Kami lebih ke obligasi korporasi. Kami investasi di perusahaan yang memiliki peringkat minimal AA sehingga potensi default jauh. Yield juga masih lebih tinggi yang korporasi dibandingkan dengan SUN,” kata Agung.
Hanif Mantiq, Senior Fund Manager PT BNI Asset Management (BNI AM) mengatakan perseroan berencana menerbitkan dua produk berbasis obligasi tahun ini, yang salah satunya berbasis obligasi korporasi. Menurutnya, reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi lebih likuid.
Dua produk tersebut akan membagikan return secara bulanan. Kebijakan tersebut diklaim akan menguntungkan bagi investor yang menginginkan imbal hasil tetap dan lebih pasti. Menurut Hanif, produk ini membidik investor usia sekitar 50 tahun atau 55 tahun.
Hanif mengatakan return bulanan akan diperoleh dari kupon yang dibagikan oleh obligasi yang menjadi aset dasar. “Nantinya, salah satu produk akan berisi reksadana korporasi. Agar mampu membagikan return bulanan, produk ini akan mengoleksi sekitar empat obligasi korporasi,” katanya.
Wahyu Trenggono, Direktur PT Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency/IBPA) mengatakan, biasanya return obligasi korporasi memang lebih tinggi dibandingkan dengan obligasi pemerintah. Hal ini lantaran yield obligasi korporasi lebih tinggi daripada obligasi pemerintah.
Menurutnya, obligasi pemerintah sebagian besar bertenor panjang. Obligasi tenor panjang sendiri memiliki pergerakan harga yang volatilitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan obligasi tenor pendek dan menengah. Adapun, obligasi korporasi sebagian besar memiliki tenor pendek dan menengah.
“Obligasi bertenor pendek dan menengah seperti obligasi korporasi volatilitasnya rendah. Ketika pasar obligasi bergejolak sekarang, penurunan harga obligasi korporasi tidak setajam obligasi pemerintah. Makanya sekarang juga return obligasi korporasi masih lebih tinggi,” kata Wahyu.