Bisnis.com, JAKARTA— AAA Securities mengemukakan ada dua skenario besar untuk kurs rupiah yang masih mungkin terjadi.
“Skenario yang terbentuk tentunya ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk fundamental makro global,” kata Equity Technical Analyst AAA Securities Wijen Pontus dalam risetnya yang diterima hari ini, Rabu (17/9/2014).
Dua skenario rupiah tersebut adalah:
Skenario Pertama
Sejak puncak wave 3 pada rupiah di level 12.281 (27 Desember 2013), rupiah masih berada di correction wave 4 dengan pola symmetrical triangle. Artinya, hingga 2-3 bulan ke depan, rupiah masih akan konsolidasi di area 11.650—12.110.
Pada skenario ini pula, rupiah untuk shortterm (1—2 minggu) akan menguji area 12.000—12.100 (posisi rupiah terakhir di 11.971) untuk menyelesaikan wave (c) dari wave D. Jika skenario ini yang terjadi, setelah rupiah selesai membentuk wave D, Rupiah akan kembali menguat terhadap dolar AS, menuju level 11.650—11.700-an lagi (target wave E dari wave 4).
Skenario ini hanya akan gagal, jika pada suatu titik, rupiah naik melebihi level 12.110 dengan agresif. Jika rupiah pada akhirnya telanjur naik ke atas 12.110 sebelum mencapai 11.700, skenario yang terjadi adalah skenario kedua.
Skenario Kedua
Jika rupiah naik agresif ke atas level 12.110, rupiah mengkonfirmasi terbentuknya skenario kedua. Rupiah akan terus melemah menuju level 12.281 kembali untuk menyelesaikan wave (iii) dari wave [iii] dari wave 5. Ini adalah skenario terburuk.
Saat ini, belum ada satupun fundamental makro Indonesia yang nantinya dapat merasionalisasi skenario ini. Jika skenario ini yang terjadi, bukan tidak mungkin rupiah akan melemah ke level 12.850—13.000 di mana area ini menjadi target ideal dari wave [iii] dari wave 5.
Untuk target wave 5 sendiri seharusnya berada di atas 14.000. Mengingat wave 3 sendiri terbentuk selama lebih dari setahun, sehingga kami estimasikan bahwa wave 5 sendiri baru selesai terbentuk paling tidak semester dua 2015.
Dari faktor ekonomi makro Indonesia sendiri, kondisi current account deficit pada kuartal II/2014 yang naik lagi menjadi 4% terhadap PDB, dan faktor lemahnya ekspor dan impor (masing-masing turun 10%) Indonesia di bulan Juli-meskipun perdagangan surplus.
Menyebabkan neraca perdagangan menjadi rapuh, sehingga membuka peluang bagi rupiah untuk kembali terus melemah. Kondisi ini diperparah dengan pengurangan QE (quantitative easing) Amerika yang akan melambungkan suku bunga atau yield SUN Amerika, sehingga memicu naiknya yield SUN Indonesia pula; mengingat dengan naiknya suku bunga Amerika, investor akan cenderung lebih tertarik kepada SUN Amerika karena dianggap lebih aman. Hal ini semakin mengakibatkan rupiah terus tertekan