Bisnis.com, JAKARTA—Tahun ini tampaknya menjadi tahun yang cukup cerah bagi emiten tambang produsen nikel, PT Vale Indonesia Tbk. Betapa tidak, sepanjang 2014 sahamnya melonjak sekitar 42% seiring meroketnya harga nikel.
Pada penutupan pasar awal pekan ini, Senin (21/4/2014) harga saham emiten dengan ticker INCO itu melemah 2,39% menjadi Rp3.470 per lembar. Sebagai catatan, harga saham INCO pada pembukaan bursa awal tahun ini adalah Rp2.500.
Bahkan, saat pasar ditutup sebelum libur paskah pekan lalu harga saham perseroan ditutup menghijau pada level Rp3.555 dan sekaligus menjadi yang tertinggi sejak Maret 2012 saat saham INCO bertengger di posisi Rp3.575 per lembarnya.
Fajar Indra, analis dari PT Panin Sekuritas Tbk. menilai saham emiten ini memang sedang bagus-bagusnya, jika dibandingkan dengan komoditas tambang lain. Kala itu Fajar membandingkannya dengan produsen batu bara. “Saham INCO naik terus,” ucapnya singkat.
Menurutnya penguatan harga nikel menjadi salah satu alasan terkuat yang menopang pergerakan saham emiten tersebut. Pasalnya nikel memang menjadi produk utama perseroan. Dengan demikian, kata Fajar, selama prospek harga nikel masih bagus, INCO akan turut menuai berkahnya.
Sejak pemberlakuan beleid larangan mineral mentah dari Indonesia per tengah Januari 2014, harga nikel menjadi komoditas yang paling terpengaruh.
Analis komoditas bahkan memproyeksikan nikel sebagai yang paling menikmati bullish. Hal ini terjadi karena pasar khawatir pasokan nikel seret mengingat Indonesia adalah salah satu produsen terbesar di dunia.
Sebelumnya, awal bulan ini lembaga keuangan asal AS Morgan Stanley meningkatkan proyeksi kenaikan harga nikel menjadi 8% sepanjang 2014. Adapun pada 2015 harga nikel diperkirakan terus menanjak sekitar 13% ke kisaran US$17.527 per ton.
Meski demikian analis dari PT Trust Securities Reza Priyambada menilai kenaikan ini hanya bersifat sementara. “Kalau itu temporary ya. [Kenaikan ini] karena ada pemberitaan kontrak tambang Vale di sini akan diperpanjang, padahal kalau kinerja kurang begitu baik,” katanya.
Sebagai informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah meluluskan permohonan INCO untuk memperpanjang kontrak. Pemerintah beralasan perseroan bersedia untuk berinvestasi jangka panjang di Indonesia. Hingga saat ini luas tambang INCO mencapai 190.513 hektar.
Adapun tahun ini, INCO optimistis bisa memperbaiki kinerja keuangannya. Direktur Utama perseroan Niko Kanter menuturkan perseroan menargetkan produksi nikel naik 5% tahun ini menjadi sekitar 79,7 kilo ton dari tahun 2013 sebesar 76,8 kilo ton.
Manajemen perseroan mengatakan penurunan harga nikel sepanjang 2013 menjadi biang keladi utama yang menggerus pendapatan INCO. Tahun lalu pendapatan perseroan melemah sekitar 4,95% dari US$967,32 juta atau sekira Rp11,05 triliun (kurs tengah Rp11.430 per dolar AS) menjadi US$921,63 juta atau setara dengan Rp10,53 triliun.