Bisnis.com, JAKARTA – Peningkatan utang luar negeri swasta dari tahun ke tahun menambah kebutuhan valuta asing di Indonesia sehingga mengancam stabilitas rupiah.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo pada kuartal IV/2013 mencapai US$21,02 miliar yang terdiri dari utang swasta sebesar US$18,89 miliar dan US$2,13 miliar sisanya adalah utang pemerintah.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengatakan kontribusi utang swasta pada nilai total utang luar negeri Indonesia berisiko memicu permintaan yang tinggi terhadap valuta asing (US$) di pasar domestik.
“Pemerintah dan BI bisa mengambilnya dari cadangan devisa yang ada, tapi swasta hanya bisa mengambil di pasar valuta asing (valas), baik domestik maupun luar negeri. Tetapi faktanya mereka [pengusaha] cenderung mencarinya di pasar domestik,”ungkapnya saat dihubungi Bisnis, Minggu (24/11/2013).
Apalagi, dia mengatakan ketersediaan valuta asing di pasar domestik terbatas sehingga nilai rupiah dikhawatirkan bakal terjun bebas akibat meningkatnya permintaan valuta asing di pasar domestik.
“Ini yang agak repot, mereka [pelaku usaha] enggan menyimpan uang mereka di bank lokal tetapi kalo ambil valas di pasar domestik, itu sangat merugikan Indonesia,”katanya.
Menurutnya, pemerintah juga tidak bisa mengatur utang luar negeri swasta karena skemanya berbeda yaitu business to business sedangkan untuk BUMN telah ada payung hukum yang disiapkan untuk mengatur peningkatan utang pemerintah luar negeri melalui transaksi lindung nilai.
Langkah pemerintah tersebut disambut positif oleh Telisa guna mengurangi resiko atas kebutuhan valas terhadap depresiasi rupiah. Dua BUMN yang memiliki tingkat utang luar negeri cukup tinggi karena potensi impornya cukup tinggi antara lain PLN dan Pertamina, sambungnya,
Namun, untuk swasta, aksi lindung nilai ini belum banyak dilakukan.”Masih dibawah 50% dari perusahaan swasta yang melapor telah melakukan aksi lindung nilai,”tekannya.
Padahal, tuturnya, situasi fluktuasi rupiah saat ini seharusnya bisa menjadi pertimbangan pelaku usaha untuk menerapkan transaksi lindung nilai yang dapat mengurangi kerugian dari transaksi yang ada dan sekaligus dapat mengurangi tekanan pada rupiah.
Terkait dengan sedikitnya perusahaan yang melakukan aksi tersebut, dia menilai aksi lindung nilai masih memerlukan strategi yang cermat dan biaya yang cukup mahal. “Untuk perusahaan besar mungkin cukup mudah untuk melakukannya, tetapi untuk pelaku usaha yang kecil, resiko dan manfaatnya tidak seimbang,”ucapnya.
Salah satu cara untuk meningkatkan ketesediaan valas yaitu menggelontorkannya ke pasar forwad dan pasar spot sehingga biaya aksi lindung nilai berangsur-angsur akan mengecil alias murah.
Sementara itu, kepala ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menuturkan hal lain yang bisa dilakukan pemerintah yaitu menambah ketersediaan valas di pasar domestik dengan menerbitkan obligasi valas dengan jumlah yang tinggi.
“Saat ini kan masih di sekitar US$2 miliar-US$3 miliar, mungkin bisa ditambahkan hingga US$5 miliar,”katanya.
Tidak hanya itu, alternatif lainnya adalah memanfaatkan insentif pajak luar negeri guna membatasi jumlah utang luar negeri swasta sehingga hutang luar negeri tidak lagi mengganggu stabilitas rupiah.
Posisi Utang Luar Negeri Indonesia (US$ miliar)
---------------------------------------------------------------------------------------
Tahun Pemerintah Swasta
--------------------------------------------------------------------------------------
2009 99,27 73,61
2010 118,62 83,79
2011 118,64 106,73
2012 126,12 126,25
2013* 123,21 136,66
------------------------------------------------------------------------------------
* Posisi utang September 2013
Sumber : Bank Indonesia 2013