Bisnis.com, JAKARTA--Apapun keputusan Federal Reserve terkait stimulus moneter Amerika Serikat dipastikan tidak akan mendorong arus dana asing keluar dari pasar obligasi, karena outflow sudah benar-benar terjadi sebelumnya.
Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto memaparkan depresiasi rupiah yang mencapai 19,4% sepanjang tahun hingga 5 September 2013 telah mendorong pendapatan bunga para pemegang obligasi asing di Indonesia menyusut karena kerugian kurs (currency loss).
Dengan pelemahan rupiah lebih lanjut yang diekspektasi oleh pasar saat itu, pelaku pasar melihat secara rasional investor akan berbondong-bondong meninggalkan pasar.
“Arus keluar sudah benar-benar terjadi, meski secara bertahap. Hal itu menghilangkan risiko adanya outflow lebih lanjut,” tegasnya dalam hasil riset yang dirilis Rabu (18/92013).
Pada Juni 2013 memang terlihat adanya arus keluar yang besar mencapai Rp20 triliun. Namun setelah itu segera diikuti oleh arus masuk pada Juli, serta sedikit pada Agustus dan September, dengan hasil tahun kalender sampai 12 September menunjukkan net inflow Rp14,5 triliun.
Berdasarkan total outstanding obligasi, dana asing meningkat pada puncaknya April lalu mencapai 34,2% kemudian menurun menjadi 30,4% sampai saat ini.
“Pelaku pasar memperkirakan bahwa kerugian kurs 19% akan menginduksi penurunan porsi kepemilikan asing lebih besar dibanding hanya 4% seperti yang benar-benar terjadi,” sebutnya.
Yield obligasi Indonesia menunjukkan peningkatan tajam, obligasi acuan 10 tahun misalnya, melojak dari 5,19% pada akhir 2012 menjadi 8,9% pada 9 September 2013. Artinya, 23,8% nilai obligasi--sebelum pendapatan bunga, memberikan kombinasi antara nilai dan kerugian kurs lebih dari 43% sepanjang tahun.
Hal ini membantah logika bahwa kerugian yang masif menyebabkan eksodus besar-besaran dari pasar obligasi Indonesia. Faktanya obligasi Indonesia mengalami arus masuk sepanjang tahun, bukan arus keluar yang mengancam valuasi ekuitas.
DUA SKENARIO
Analis Obligasi PT Penilai Harga Efek Indonesia (IBPA) Fakhrul aufa memperkirakan pasar obligasi Indonesia masih akan mengalami turbulensi sementara waktu setelah pengumuman The Fed.
Dia memaparkan dua skenario yang akan terjadi di pasar obligasi Indonesia berdasarkan hasil keputusan atas stimulus moneter di Amerika Serikat. Pertama, jika bank sentral AS memutuskan mengurangi stimulus moneter, maka yang pertama kali akan terpukul adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Selanjutnya, akan bertransmisi meningkatkan kerugian kurs investor asing di pasar obligasi, sehingga aliran dana asing berpotensi keluar untuk sementara waktu dan menekan yield obligasi ke level tertinggi.
Oleh karena itu, sambungnya, pemerintah dan Bank Indonesia harus berkoordinasi untuk memperkuat pasar domestik sehingga tidak menimbulkan kepanikan bagi pelaku pasar. Langkah konkret yang harus dilakukan yakni, menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil melalui kebijakan pembelian SUN dan intervensi di pasar uang.
“Langkah lain, mengupayakan current account deficit tidak semakin melebar dengan serangkaian kebijakan fiskal,” ujarnya.
Skenario kedua, jika The Fed tidak mengurangi jumlah stimulus moneternya maka dana asing akan kembali ke pasar obligasi negara berkembang, dengan asumsi rupiah kita tidak melemah terlalu dalam. Bila dana asing mengalir lagi, yield obligasi acian diperkirakan bisa bergerak menurun pada kisaran 7,5%-8%.
“Kalau masih melemah kemungkinan minat beli akan tertahan. Jadi kuncinya di pergerakan rupiah,” tandasnya.