Bisnis.com, JAKARTA - Depresiasi nilai tukar rupiah berpotensi mengganggu kinerja keuangan sejumlah emiten berbasis impor dan emiten pemilik utang valas.
Analis PT AAA Asset Management Akuntino Mandhany mengatakan dampak pelemahan rupiah baru akan terasa paling cepat pada kuartal ketiga 2013.
“Dampak pelemahan rupiah belum terlihat sekarang, paling tidak kuartal III baru terasa pengaruhnya,” ujarnya kepada Bisnis, Senin(15/7/2013).
Menurut dia, perusahaan yang mengeluarkan biaya produksi dalam bentuk valas tapi memiliki pendapatan rupiah akan mengalami penyusutan margin laba. Hal itu dicerminkan oleh perusahaan sektor farmasi yang mengimpor bahan baku dari luar negeri.
Sementara itu, perseroan yang memiliki utang valas cukup besar akan mengalami penggelembungan nilai utang. Namun kerugian hanya dalam bentuk pencatatan dan tidak riil.
Akuntino menyontohkan kondisi terjadi pada produsen ban kendaraan PT Gajah Tunggal Tbk yang pernah ‘tersandung’ oleh depresiasi rupiah beberapa kali.
“Gajah Tunggal kena hit juga di net income beberapa kali, pada 1999, 2002, dan 2008. Tetapi hanya dipencatatan, kalau operasional tidak ada masalah,” tuturnya.
Emiten berkode saham GJTL itu juga sudah mengantisipasi kerugian nilai tukar dengan melakukan hedging dan secara tidak langsung mengalami hedging natural. “Intinya mereka punya jual beli di dolar dan obligasi dolar tapi ada revenue-nya,” jelasnya.
Selain hedging, lanjutnya, perusahaan disarankan melakukan efisiensi biaya dalam waktu sementara untuk meminimalisir penyusutan margin laba.
Sebagai informasi, nilai tukar rupiah menurut kurs tengah Bank Indonesia telah mencapai Rp10.024 per dolar Amerika Serikat, paling lemah sejak September 2009. Sepanjang bulan Juni 2013 BI menguras cadangan devisa hingga US$7 miliar dan hanya tersisa US$98 miliar untuk menahan pelemahan nilai tukar rupiah.