BISNIS.COM, JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga sempat menembus angka Rp10.000 per dolar AS tidak luput dari perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah menuturkan presiden terus memantau pergerakan nilai tukar rupiah terhadap sejumlah mata uang asing, khususnya dolar AS.
"Harapannya rupiah dapat berada dalam rentan aman yaitu Rp9.500 - Rp9.800 per dolar AS. Kalau nilai tukar [rupiah] terlalu naik tidak terlalu bagus untuk ekspor. Tapi kalau terlalu drop juga tidak baik untuk impor," ujarnya ketika ditemui di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (11/6/2013).
Firmanzah menuturkan evaluasi dan pengawasan pergerakan nilai tukar rupiah terus dilakukan. Bahkan kalangan istana juga terus berkoordinasi dengan Gubernur BI.
Menurut Firmanzah, setidaknya ada dua aspek yang berpengaruh terhadap pelemahan rupiah. Pertama yaitu tren tekanan mata uang yang terjadi di tingkat regional dan global. Hal itu, ujarnya, sedikit banyak ikut berdampak terhadap rupiah.
Kemudian aspek kedua yaitu keputusan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Di sisi lain, lanjut Firmanzah, tekanan yang dialami IHSG juga turut memberi dampak terhadap pelemahan rupiah.
Firmanzah mengakui putusan realisasi kenaikan harga BBM harus melalui mekanisme sidang paripurna di DPR RI.
Namun demikian, lanjut Firmanzah, kebijakan menaikkan harga BBM yang sudah diputuskan oleh pemerintah itu paling tidak akan memberikan kepastian kepada investor tentang kebijakan pemerintah untuk mengurangi defisit fiskal dan neraca perdagangan.
"Jadi itu dulu [sidang paripurna DPR RI] yang kita tunggu. Kalau prosesnya berjalan baik, maka tidak lama dari itu akan dilakukan [realisasi]," ujarnya.
Intervensi (BI) sepertinya belum terlalu kelihatan dampaknya. Hari ini dicoba ditahan di 9.800 per dolar AS agar tidak sampai menembus 10.000 seperti kemarin.