Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah emiten batu bara gencar melakukan diversifikasi bisnis dalam beberapa tahun terakhir, seperti INDY, ADRO, BUMI hingga PTBA. Lalu, proyek diversifikasi mana yang menarik dicermati.
Dari sejumlah perusahaan batu bara, PT Indika Energy Tbk. (INDY) diketahui menjadi salah satu emiten yang gencar melakukan diversifikasi beberapa tahun terakhir. INDY bahkan menargetkan pendapatan non-batu bara perseroan dapat mencapai 50% pada 2028.
Direktur Utama Indika Energy Azis Armand menjelaskan penguatan diversifikasi di luar batu bara menjadi pilar utama strategi perseroan.
“Dengan mengalokasikan lebih dari 90% belanja modal ke sektor non-batu bara pada 3 bulan 2025, kami menunjukkan komitmen nyata dalam mewujudkan visi menuju perusahaan yang berkelanjutan dan net-zero. Transformasi bisnis yang dilakukan Indika Energy bertujuan untuk menciptakan nilai jangka panjang bagi seluruh pemangku kepentingan,” kata Azis dalam keterangannya.
Menurutnya, terus melakukan diversifikasi usaha pada sektor non-batu bara termasuk di sektor mineral, energi baru dan terbarukan, dan kendaraan listrik.
Sepanjang 3 bulan 2025, INDY mengeluarkan dana sebesar US$18,5 juta pada kuartal I/2025 untuk belanja modal (capex), dengan sebagian besar dialokasikan untuk proyek pertambangan emas sebesar US$15,3 juta dan bisnis hijau sebesar US$1,3 juta.
Baca Juga
Di sisi lain, diversifikasi juga dilakukan oleh emiten afiliasi Garibaldi ‘Boy’ Thohir, PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (ADRO) atau yang dulunya Adaro Energy Indonesia. Diversifikasi dilakukan ADRO melalui anak usahanya, PT Alamtri Minerals Indonesia Tbk. (ADMR) yang menambang batu bara metalurgi.
ADRO tercatat mengalihkan fokusnya dari batu bara. Sebagai entitas induk, ADRO akan lebih berfokus pada bisnis hijau dan pengembangan proyek-proyek ramah lingkungan dengan pilar bisnis Adaro Minerals dan Adaro Green.
Hal ini dilakukan setelah terjadinya pemisahan pilar bisnis pertambangan batu bara termal dan beberapa bisnis pendukungnya. Sebagaimana diketahui, ADRO tercatat melakukan spin-off atau pemisahan usaha bisnis batu baranya, PT Adaro Andalan Indonesia Tbk. (AADI) akhir tahun lalu.
Sementara itu, emiten kongsi Grup Bakrie dan Grup Salim, PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) menargetkan pendapatan non-batu bara dapat berkontribusi sebesar 50% dari total pendapatan perseroan pada 2030.
Vice President Investor Relations & Chief Economist Bumi Resources Achmad Reza Widjaja menjelaskan perseroan berharap akan ada pendapatan non-batu bara sekitar 50% dari total pendapatan perseroan.
“Kalau kita lihat sekarang ini, 17% pendapatan kami dari non-batu bara. Karena kami ada konsolidasi dengan Bumi Resources Minerals, kami punya saham 20% di BRMS, jadi ada masukan pendapatan atau profit dari BRMS tentunya,” ujar Reza pekan lalu.
Reza juga menyampaikan pada 2026 nanti, produksi BRMS dapat meningkat. Lalu, pada 2027 dan seterusnya, Reza meyakini pendapatan non-batu bara termal BUMI akan terus meningkat sampai nantinya tahun 2060.
Reza menuturkan BUMI juga akan melirik berbagai usaha tambang lainnya, bukan hanya batu bara. Menurutnya, hal ini sesuai dengan keahlian perseroan di sektor tambang.
“Unlocking the future, ini yang kami akan angkat. Kami notabene tidak melihat batu bara ke depan itu akan menjadi penopang dari bisnis kami sendiri,” kata Reza.
Untuk mendukung diversifikasi ini, selain melalui BRMS, BUMI baru saja mengumumkan akuisisi emas Wolfram, Australia. BUMI berharap tambang ini dapat berproduksi pada satu atau dua tahun pertama.
“Akuisisi Wolfram, kami harap tahun depan, tahun pertama dan kedua kami sudah dapat melakukan produksi,” tutur Reza.
Dengan berproduksinya tambang emas Wolfram tersebut, Reza berharap hal ini dapat menambah pendapatan perseroan dalam jangka pendek.
Adapun emiten batu bara pelat merah, PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) melakukan diversifikasi melalui sejumlah proyek PLTS maupun melalui hilirisasi batu bara.
Corporate Secretary PTBA Niko Chandra menjelaskan PTBA terus mengembangkan potensi proyek strategis, salah satunya adalah Artificial Graphite dan Anode Sheet.
“Kami telah melakukan kajian tahap awal bersama BRIN, dan hasilnya menunjukkan kelayakan serta potensi pasar yang besar,” ucapnya.
Niko menjelaskan grafit buatan ini merupakan bahan baku krusial untuk baterai kendaraan listrik dan berbagai industri berteknologi tinggi. Hal ini menegaskan visi PTBA untuk masuk ke rantai nilai industri masa depan yang lebih hijau dan inovatif.
“Seluruh inisiatif strategis tersebut merupakan bagian integral dari upaya kami untuk membangun ekosistem energi bersih yang komprehensif. Semua ini adalah bagian dari strategi jangka panjang kami untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara,” tuturnya.
Adapun PTBA menargetkan agar pendapatan dari bisnis non-batu bara ini dapat memberikan kontribusi yang semakin signifikan terhadap total pendapatan perusahaan di masa depan.