Tantangan Likuiditas
Likuiditas dan transaksi saham di BEI memang sejatinya masih mengalami sejumlah tantangan. Di tengah pesatnya pertumbuhan investor pasar modal, ternyata rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) belum mencapai target.
Menukil dataindonesia.id, per Mei 2025 jumlah investor pasar modal mencapai 16,56 juta single investor identification (SID), yang mencakup saham, obligasi, dan reksa dana. Investor saham sendiri menembus 7 juta SID.
Dalam 5 bulan pertama 2025, jumlah investor pasar modal bertambah 1,7 juta SID dari akhir 2024 sebanyak 14,87 SID. Dengan target penambahan investor baru 2 juta orang pada 2025, besar peluang sasaran tersebut tercapai sebelum akhir tahun.
Namun demikian, RNTH per Mei 2025 baru menggapai level Rp12,90 triliun, meskipun nilai tersebut naik dari bulan sebelumnya Rp12,47 triliun. BEI mencanangkan target RNTH pada 2025 mencapai Rp13,5 triliun.
Di samping RNTH, ada persoalan belum meratanya likuiditas saham. Berdasarkan data BEI, sekitar 70% saham di bursa memiliki aktivitas transaksi di bawah rata-rata market.
Baca Juga
Kemudian 75% saham memiliki spread harian lebih tinggi dari rata-rata market. Spread adalah selisih antara harga penawaran (bid) dan harga permintaan (ask) dari saham. Jika spread terlalu lebar, maka transaksi sulit terjadi.
Untuk menjawab berbagai tantangan likuiditas dan transaksi saham, BEI pun sebelumnya telah menyiapkan sejumlah inovasi baru seperti implementasi liquidity provider dan short selling pada kuartal III/2025. Bursa juga berencana membuka kembali kode broker dan kode domisili pada akhir perdagangan di sesi I, yang sebelumnya ditutup mulai Desember 2021.
Liquidity provider saham adalah anggota bursa (AB) atau sekuritas yang telah mendapat persetujuan dari BEI dan memiliki kewajiban untuk melakukan kuotasi jual dan beli secara berpasangan dan berkelanjutan atas saham tertentu.
Dengan adanya liquidity provider, harapannya ada peningkatan transaksi saham hingga 11,5% pada saham 90 persentil terbawah. Selain itu, penurunan rerata spread harian di market menjadi kurang dari 3 tick.
Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menargetkan implementasi penyedia likuiditas (liquidity provider) dapat meluncur pada kuartal III/2025. Saat ini, sudah ada 13 sekuritas yang berminat menjadi penyelenggara.
“Buat investor dua hal yang sangat penting, yakni keuntungan dan likuiditas. On paper dia untung [bila sahamnya naik], tapi kalau pada saat dia mau menjual tidak ada yang mau beli, enggak ada gunanya. Itulah yang mau kami berikan di BEI untuk meningkatkan likuiditas dari saham-saham yang ada,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (10/6).
Adapun, mekanisme short selling atau jual kosong adalah investor meminjam saham dari broker, kemudian menjualnya dengan harga pasar, dan membeli kembali saham tersebut dengan harga yang lebih rendah. Investor mendapatkan keuntungan dari selisih harga. Praktik ini dinilai berisiko karena mengharapkan keuntungan saat harga suatu saham turun.
Menurut Jeffrey, short selling berisiko untuk dilakukan saat kondisi pasar yang tertekan, seperti saat indeks harga saham gabungan (IHSG) terpukul mulai Februari 2025. Oleh karena itu, implementasi kebijakan tersebut ditunda hingga pasar kondusif.
“Untuk memberikan perlindungan kepada investor, kami memilih untuk menunda short selling sampai dengan September. Mudah-mudahan pada saat itu kondisi pasar sudah kondusif,” imbuhnya.
Terkait pembukaan kode domisili dan kode broker, sambung Jeffrey Hendrik, rencananya hanya dilakukan pada penutupan perdagangan sesi I dan II, tidak real time seperti sebelumnya. Saat ini, BEI sudah meminta vendor untuk menyesuaikan proses pelaporan.
Rencananya, pembukaan kode domisili dan kode broker dapat berlaku dalam 3 bulan ke depan. “Kalau bisa lebih cepat, akan kami sampaikan ke publik,” tambahnya.
Di samping berbagai inovasi kebijakan baru, BEI bersama pemangku kepentingan lainnya menggencarkan edukasi literasi keuangan. Menurut Jeffrey, literasi adalah perlindungan pertama untuk investor agar mengetahui manajemen risiko dan perhitungan keuntungan dalam berinvestasi.
Di lembaga pendidikan, stake holder pasar modal menggencarkan edukasi di perguruan tinggi dalam bentuk Galeri Investasi hingga sekolah menengah atas (SMA) dalam wadah Galeri Edukasi. Mahasiswa umumnya sudah memiliki KTP sehingga dapat menjadi investor di pasar modal, sedangkan siswa SMA baru sebatas edukasi.
“Kami percaya yang sekarang di SMA dan di perguruan tinggi, 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun lagi, merekalah pelaku ekonomi yang sebenarnya. Jadi pemberian literasi sejak dini sangat penting,” jelasnya.
Jeffrey pun optimistis target penambahan investor pasar modal 2 juta SID dan RNTH Rp13,5 triliun pada 2025 dapat tercapai. Berkaca dari tahun lalu, pertumbuhan investor mencapai 2,7 juta SID.
“Artinya, sekalipun target sudah tercapai [seperti pada 2024], kami akan terus menjalankan rencana kerja sampai akhir tahun. Kami akan bekerja keras untuk itu,” tegasnya.