Bisnis.com, JAKARTA — Emiten properti tampaknya belum bisa bernapas lega. Kendati Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuan, implementasi penurunan suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) masih jalan di tempat.
Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5% pada Mei 2025. Namun, kondisi di lapangan memperlihatkan penurunan suku bunga KPR sukar dilakukan karena likuiditas perbankan ketat.
Emiten properti PT Ciputra Development Tbk. (CTRA), misalnya, menetapkan target marketing sales atau prapenjualan secara konservatif yakni Rp11 triliun pada 2025. Angka itu tidak berubah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Head of Investor Relation CTRA Aditya Ciputra Sastrawinata menjelaskan bahwa perseroan melihat adanya dua tantangan yang dihadapi pada tahun ini. Salah satunya bertalian dengan suku bunga KPR di perbankan.
Dia mengungkapkan bahwa saat ini sekitar 72% konsumen perusahaan masih mengandalkan fasilitas KPR untuk pembelian properti. Artinya, sensitivitas terhadap perubahan suku bunga menjadi semakin tinggi.
“Kalau kita lihat situasi likuiditas perbankan saat ini, loan to deposit ratio (LDR) sudah berada di atas 90% secara agregat. Dengan demikian, ruang perbankan untuk menurunkan bunga KPR sudah terbatas,” ujarnya di Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Baca Juga
Berdasarkan catatan CTRA, beberapa bank besar bahkan telah menaikkan suku bunga KPR sejak awal tahun. PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), semisal, mengerek bunga KPR sebesar 25-40 bps pada Februari dan kembali naik 37 bps per Juni.
Menurut Aditya, kenaikan ini mungkin terlihat kecil. Namun, akumulasi kenaikan suku bunga secara bertahap dinilai berdampak terhadap daya beli konsumen.
“Jika 72% dari pembeli kami menggunakan KPR dan suku bunganya naik, dampak terhadap prapenjualan juga akan terasa. Itu alasan pertama kenapa kami menargetkan marketing sales yang lebih konservatif,” ucapnya.
Selain faktor suku bunga, terbatasnya kontribusi proyek baru juga menjadi pertimbangan utama CTRA dalam memasang target untuk tahun ini.
Sebelumnya, Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menjelaskan penurunan BI rate secara teori menjadi katalis positif bagi sektor properti. Namun, kondisi di lapangan belum sepenuhnya mendukung optimisme tersebut.
“Investor melihat penurunan BI Rate ini belum tentu langsung menurunkan bunga KPR karena kondisi likuiditas bank masih ketat,” ujar Liza.
Di sisi lain, dia melihat adanya kekhawatiran terhadap stabilitas nilai tukar rupiah dan potensi arus keluar dana asing turut membayangi sentimen pelaku pasar.
Sementara dari sisi permintaan, sektor properti khususnya untuk rumah tapak di segmen menengah ke atas juga belum menunjukkan tanda pemulihan yang kuat.
Liza menilai sektor properti masih membutuhkan waktu untuk pulih sepenuhnya. Efek positif dari pelonggaran suku bunga kemungkinan baru akan terasa pada semester II/2025, seiring membaiknya daya beli dan kepercayaan konsumen.