Lalu ada sektor ritel yang meraih pertumbuhan dua digit pada periode sama karena didorong ekspansi gerai dan peningkatan produktivitas. Meski mampu menjaga margin kotor di kisaran 41–42%, kinerja saham peritel tertekan akibat depresiasi rupiah yang mengerek biaya impor produk berbasis dolar Amerika Serikat (AS).
Memasuki kuartal II/2025, prospek sektor ini menghadapi tantangan baru yakni kombinasi perlambatan musiman, lemahnya katalis daya beli dan pelemahan nilai tukar diperkirakan akan memberi tekanan pada harga saham emiten ritel.
Sementara itu, sektor otomotif diperkirakan menghadapi risiko ganda akibat tarif perdagangan dan depresiasi rupiah. Ekspor komponen otomotif Indonesia tercatat sebesar US$2,4 juta pada 2024, dengan sekitar 10% diekspor ke Amerika Serikat (AS).
“Kebijakan tarif terbaru dinilai lebih membebani produsen komponen lokal seperti AUTO dan DRMA, ketimbang eksportir kendaraan utuh,” kata Erindra.
Pelemahan rupiah juga meningkatkan biaya impor kendaraan roda empat dan dua. Apabila distributor tidak mampu mengalihkan beban biaya tersebut ke konsumen, margin perusahaan berpotensi tergerus di tengah lemahnya daya beli masyarakat.
Di industri semen, kata Erindra, dampak utama dari tensi dagang berasal dari komponen biaya berbasis dolar AS, terutama batu bara yang menyumbang 30% dari total biaya, serta bahan impor seperti kemasan dan gipsum.
“Analisis menunjukkan bahwa depresiasi rupiah sebesar 1% bisa memangkas laba hingga 5%. Di tengah kondisi kelebihan pasokan dan lemahnya permintaan domestik, upaya menaikkan harga jual dinilai sulit dilakukan,” ucapnya.