Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah melemah pada Selasa (4/3/2025) setelah OPEC+ mengonfirmasi rencana kenaikan produksi mulai April, ditambah tekanan dari kebijakan tarif perdagangan AS dan respons balasan dari China.
Melansir Bloomberg, Rabu (5/3), minyak mentah Brent ditutup melemah 0,8% ke US$71,04 per barel setelah sempat menyentuh US$69,75, level terendah sejak September. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) turun tipis 0,2% menjadi US$68,26 per barel, setelah sebelumnya jatuh ke US$66,77, terendah sejak November.
OPEC+, yang terdiri dari negara-negara penghasil minyak termasuk Rusia, mengumumkan kenaikan produksi sebesar 138.000 barel per hari mulai April 2025, langkah pertama sejak 2022.
Kepala analis komoditas SEB Bjarne Schieldrop mengatakan perubahan strategi OPEC tampaknya lebih dipengaruhi faktor politik ketimbang harga.
"Kemungkinan ini terkait dengan lobi Donald Trump yang menginginkan harga minyak lebih rendah,” ungkap Schieldrop.
Sementara itu, kekhawatiran perang dagang global juga turut menekan harga minyak. Mulai Selasa, AS menerapkan tarif 25% pada impor dari Kanada dan Meksiko, termasuk tarif 10% pada energi dari Kanada. Tarif impor barang China juga meningkat menjadi 20% dari sebelumnya 10%.
Baca Juga
Para analis memperkirakan kebijakan ini akan menghambat aktivitas ekonomi dan menekan permintaan energi, yang dapat berdampak negatif pada harga minyak.
China segera merespons dengan menaikkan tarif 10-15% untuk produk pertanian dan makanan dari AS serta memberlakukan pembatasan ekspor dan investasi terhadap 25 perusahaan AS.
Ketegangan geopolitik sedikit mereda setelah Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan penyesalan atas perselisihannya dengan Donald Trump pekan lalu. Sumber Reuters mengungkapkan bahwa AS dan Ukraina segera menandatangani kesepakatan terkait mineral strategis.
Namun, pemerintahan Trump pada Senin juga mengumumkan penangguhan seluruh bantuan militer AS untuk Ukraina. Selain itu, Washington dilaporkan sedang mempertimbangkan untuk melonggarkan sanksi terhadap Rusia, yang berpotensi meningkatkan pasokan minyak dari negara tersebut.
Goldman Sachs mencatat bahwa pasokan minyak Rusia saat ini lebih terkendala oleh kuota produksi OPEC+ ketimbang sanksi. Bank tersebut juga memperingatkan bahwa kombinasi pasokan minyak yang lebih tinggi, pelemahan ekonomi AS, serta eskalasi tarif dapat menjadi risiko bagi proyeksi harga minyak.