Bisnis.com, JAKARTA – PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) menjelakan bahwa saat ini jumlah sertifikat rumah bermasalah hanya tersisa 38.144, atau turun dari posisi 2018 yang mencapai 119.012 sertifikat.
Corporate Secretary BTN Ramon Armando, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), meluruskan informasi yang menyebutkan adanya 120.000 rumah dengan sertifikat bermasalah akibat pengembang nakal.
Ramon menjelaskan bahwa 120.000 sertifikat bermasalah dari kredit pemilikan rumah (KPR) milik BTN merupakan posisi pada 2018. Adapun, jumlah sertifikat bermasalah sudah mengalami penyusutan selama 6 tahun terakhir.
“Atas persoalan tersebut, perseroan telah melakukan langkah-langkah penyelesaian, termasuk perbaikan proses bisnis sehingga jumlah sertifikat bermasalah per 31 Desember 2024 sebanyak 38.144 debitur,” ujarnya, Kamis (6/2/2025).
Dia menyampaikan persoalan ini timbul karena sejumlah faktor, di antaranya sertifikat dalam permasalahan hukum, perusahaan pengembang pailit, notaris tidak bertanggung jawab dalam penyelesaian sertifikat, sertifikat hilang atau berada di bank/pihak lain, dan penjualan di bawah tangan oleh debitur.
Kondisi tersebut diakui Ramon menimbulkan risiko, baik dari aspek operasional, hukum, reputasi, maupun tuntutan hukum dari debitur.
Baca Juga
Meski demikian, dia menyatakan perseroan telah melakukan langkah-langkah penyelesaian serta mitigasi atas kondisi tersebut, yang tercermin dari menurunnya jumlah sertifikat bermasalah dari 2018 hingga 2024.
BTN juga sudah membentuk Divisi Operasional Kredit yang bertugas menjaga dan memastikan legalitas pemberian kredit, serta terselesaikan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dampak Keuangan BTN
Di sisi lain, belum terselesaikannya sertifikat debitur memiliki dampak terhadap keuangan BTN berupa kewajiban pencadangan dana penyelesaian sertifikat. Untuk diketahui, total saldo pinjaman dari 38.144 debitur mencapai Rp3,3 triliun.
“Total saldo pokok pinjaman dari 38.144 debitur yang sertifikatnya masih bermasalah adalah sebesar Rp3,3 triliun,” ucap Ramon.
Dia menyatakan BTN akan mencadangkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sesuai POJK 40/2019 dan standar akuntansi yang berlaku dengan memperhatikan total outstanding debitur yang jumlahnya fluktuatif.
Hal itu merupakan kewajiban perseroan dalam rangka perlindungan konsumen bagi debitur yang beritikad baik sesuai ketentuan regulator, sekaligus memitigasi risiko kredit apabila debitur gagal bayar atau wanprestasi.
BTN juga berkomitmen menyelesaikan sertifikat bermasalah selama 3 tahun ke depan sampai dengan 2028. Pada 2025, misalnya, perseroan mengestimasikan penyelesaian sebanyak 15.000 sertifikat sehingga posisinya susut menjadi 23.144.
Proses itu berlanjut pada 2026 dengan penyelesaian 13.000 sertifikat, atau mengurangi jumlah yang tersisa menjadi 10.144. Pada 2027, sebanyak 7.000 sertifikat bermasalah akan dituntaskan dan hanya menyisakan 3.144. Alhasil, seluruh sertifikat yang tersisa akan diselesaikan pada 2028 sehingga tidak ada lagi sertifikat bermasalah.