Bisnis.com, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang BUMN yang tengah dibahas saat ini menyiratkan sejumlah sinyal kuat terkait dengan masa depan tata kelola perusahaan pelat merah dan peran strategis BPI Danantara.
Pemerhati BUMN dari Datanesia Institute Herry Gunawan mengatakan bahwa salah satu sinyal utama adalah upaya mempertahankan posisi Kementerian BUMN sebagai kuasa pemegang saham yang mewakili pemerintah.
“Keistimewaan tersebut akan membuat BUMN secara fundamental tidak akan mengalami perubahan, yakni sulit dipisahkan dari aroma politik,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (3/2/2025).
Sebagaimana diketahui, RUU BUMN dalam pasal 3A memberikan penegasan bahwa presiden sebagai kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan BUMN. Kekuasaan tersebut kemudian didelegasikan kepada menteri.
Namun, pasal 3A khususnya ayat 3 memberikan penjelasan bahwa tugas pengelolaan BUMN itu sebagian didelegasikan kepada Badan. Badan yang dimaksud diawasi oleh menteri dan wajib melaporkan kepada presiden.
Adapun tugas dan peran Menteri BUMN diatur dalam Pasal 3B. Pasal itu menjelaskan nantinya menteri akan bertugas untuk menetapkan kebijakan, pengaturan, membina, mengoordinasikan, dan mengawasi penyelenggaraan kebijakan pengelolaan BUMN.
Baca Juga
Selain itu, menteri juga memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan, pengaturan dan pengawasan terhadap BPI Danantara.
Herry menyatakan kehadiran Danantara yang dipimpin oleh kepala badan setingkat menteri dan bertanggung jawab langsung kepada presiden sebenarnya diharapkan dapat mengubah pola yang sebelumnya telah berjalan.
Dengan mengacu model pengelolaan profesional seperti Khazanah atau Temasek, Danantara diharapkan bisa beroperasi lebih mandiri dan efisien. Badan ini juga diharapkan menjadi mesin baru perekonomian Indonesia.
Di samping itu, Herry menyatakan melalui strategi business-to-business dan konsolidasi aset BUMN yang sehat, Danantara juga berpotensi menarik investasi asing.
Namun, ada kekhawatiran Danantara akan ‘dikerdilkan’ karena kekuasaan akhir dalam pengambilan keputusan tetap berada di Kementerian BUMN.
“Danantara tidak akan bisa berbuat banyak, apalagi BUMN yang mungkin nanti ada dalam pengelolaan Danantara,” pungkasnya.
Selain itu, terdapat potensi gesekan dengan Kementerian Keuangan terkait pengalihan aset, yang dinilai memerlukan regulasi khusus semacam Omnibus Law untuk mengoreksi kewenangan kedua kementerian tersebut.
Kekhawatiran lain yang muncul adalah beban birokrasi baru yang justru dapat menghambat fleksibilitas operasional perusahaan pelat merah.
“Bayangkan ada BUMN yang berada di bawah pengelolaan Danantara atas mandat undang-undang, tapi keputusan akhirnya tetap ada di Kementerian BUMN. Ini adalah tambahan birokrasi yang membuat BUMN makin susah lincah,” kata Herry.