Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah ditutup melemah ke level Rp16.235 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan akhir pekan hari ini, Jumat (27/12/2024). Analis menilai rupiah bakal melanjutkan tren pelemahan sampai akhir tahun ini.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 0,28% atau 45 poin ke level Rp16.235 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar AS melemah 0,04%.
Sejumlah mata uang kawasan Asia lainnya bergerak variatif terhadap dolar AS. Misalkan, yen Jepang, dolar Hongkong dan dolar Singapura masing-masing mencatatkan penguatan 0,10%, 0,08% dan 0,05%.
Selanjutnya, peso Filipina dan baht Thailnd masing-masing menguat 0,20% dan 0,23%.
Di sisi lain, dolar Taiwan dan won Korea Selatan mengalami pelemahan masing-masing 0,17% dan 0,39%. Selanjutnya, rupee India dan yuan China turut mengalami pelemahan terhadap dolar AS masing-masing 0,51% dan 0,01%.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memperkirakan tren pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar AS bakal berlanjut pada pekan depan, Senin (30/12/2024). Ibrahim memproyeksikan rupiah bakal bergerak variatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.220 sampai dengan Rp16.300.
Baca Juga
“Dolar AS tetap kuat, didorong oleh sikap agresif Federal Reserve terhadap suku bunga hingga tahun 2025 dan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi serta kinerja ekonomi yang kuat di bawah pemerintahan Donald Trump yang akan datang,” kata Ibrahim lewat siaran pers, Jumat (27/12/2024).
Malahan, kata Ibrahim, sebagian investor memproyeksikan The Fed bakal tetap mempertahankan suku bunga tinggi apabila kebijakan presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump nanti berlawanan dengan pasar.
“Kemungkinan besar bank sentral Amerika Serikat tidak akan menurunkan suku bunga bahkan bisa menaikkan suku bunga,” tuturnya.
Sementara itu dari dalam negeri, Ibrahim mengatakan, daya beli masyarakat sampai akhir tahun ini terkoreksi. Dari sisi level konsumsi rumah tangga, selama tiga kuartal tahun ini terus tumbuh di bawah 5%. Per kuartal III/2024, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,91% year on year.
“Sehingga pertumbuhan ekonomi dan konsumsi dari yang sebelumnya di atas 5% menjadi di bawah 5% itu sebenarnya tanda yang jelas bahwa ada potensi pelemahan daya beli,” tuturnya.