Bisnis.com, JAKARTA – Ruang penurunan saham-saham properti dinilai telah menyempit sehingga berpotensi membuka celah bagi investor untuk menyerok saham-saham atraktif di sektor ini.
Hingga perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (13/12/2024), indeks saham properti masih membukukan pertumbuhan sebesar 10,30% year to date (YtD) ke 787,76.
Namun, saham properti seperti PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSDE), PT Ciputra Development Tbk. (CTRA), PT Summarecon Agung Tbk. (SMRA), PT Pakuwon Jati Tbk. (PWON) hingga PT Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI) turun sebulan terakhir.
BSDE, misalnya, turun 2,99% dalam sebulan terakhir menjadi Rp975 jelang penutupan perdagangan Senin (16/12/2024). Pada periode yang sama, saham CTRA turut membukukan penurunan sebesar 4,69% menjadi Rp1.020 per saham.
Selanjutnya saham SMRA ambles 11,40% menuju level Rp505 per saham dalam sebulan terakhir, lalu saham PWON melemah 4,72% menjadi Rp404 per saham, sedangkan saham ASRI turun sebesar 6,17% ke posisi Rp152.
Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menuturkan bahwa secara teknikal, saham properti dinilai oversold atau sudah banyak dijual. Indikator RSI turut memperlihatkan adanya positive divergence.
“Hal ini mengindikasikan bahwa pelemahan di sektor properti, seperti saham BSDE, SMRA, PWON, CTRA, hingga ASRI sebenarnya sudah mulai terbatas,” ujarnya saat dihubungi Bisnis pada Senin (16/12/2024).
Seiring dengan penurunan yang mulai terbatas, Nafan menyampaikan bahwa peluang akumulasi saham di sektor properti sudah terbuka cukup lebar.
Mirae menyematkan rekomendasi buy on weakness kepada PWON dengan target Rp448 per saham, lalu CTRA direkomendasikan akumulasi dengan target Rp1.140. Adapun, BSDE memiliki target harga Rp1.060 dengan rekomendasi akumulasi beli.
Sementara itu, untuk tahun depan, Nafan menilai kebijakan ekspansi moneter yang kurang agresif akan menjadi salah satu faktor hambatan yang dapat memengaruhi dinamika sektor properti Tanah Air.
“Namun, semuanya tetap akan bergantung pada data makroekonomi yang dirilis, seperti tekanan inflasi dan gangguan rantai pasok. Ini dapat memengaruhi kebijakan moneter yang lebih ketat,” ucap Nafan.
Di sisi lain, pada pekan ini, pelaku investor akan menantikan rilis tingkat suku bunga acuan yang akan diumumkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang berlangsung pada Rabu (18/12/2024).
Nafan mengatakan pelaku pasar nantinya akan mencerna potensi kebijakan BI terkait dengan suku bunga acuan. Dia memproyeksikan BI kemungkinan menurunkan suku bunga acuan, begitupun dengan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed.
“Nanti kita akan mengetahui sejauh mana dot plot disesuaikan, sehingga memberikan gambaran tentang kebijakan yang akan diambil ke depan,” pungkasnya.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.