Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi apresiasi kepada kinerja Bursa Karbon Indonesia yang dalam setahun terakhir dinilai memiliki kinerja perdagangan yang lebih baik ketimbang bursa karbon Malaysia dan Jepang.
Sampai dengan 13 September 2024, BEI mencatat pelaku perdagangan di Bursa Karbon jenis Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) mencapai 78 (naik dari 16 pelaku pada saat pembukaan), dengan 613.000 ton CO2 ekuivalen karbon diperdagangkan senilai Rp37 miliar.
Dari segi pelaku transaksi, sebagian besar didominasi oleh perusahaan di sektor riil dan perbankan. Baik dari sisi nilai maupun volume.
Menurut Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 BEI Ignatius Denny Wicaksono, pencapaian ini akseptabel. Sebab, jelasnya, angka perdagangan karbon di Tanah Air masih lebih baik dibandingkan dengan sejumlah negara lain seperti Malaysia dan Jepang.
Baik Malaysia maupun Jepang, kata dia, masing-masing baru berhasil memperdagangkan sebanyak 160.000 ton CO2 ekuivalen dan 450.000 ton CO2 ekuivalen. Padahal, waktu penerapan bursa karbon di kedua negara tersebut tidak terpaut jauh dari Indonesia.
“Banyak orang beranggapan ini kok angkanya kecil banget. Namun, pekan lalu saya datang ke pertemuan bursa-bursa Asia. Di sana, pelaku-pelaku karbon di Asia justru amaze dengan angka kita. Bahkan, di bursa-bursa lain banyak yang enggak berani ngasih angka, saking rendahnya,” kata Denny kepada Bisnis baru-baru ini.
Baca Juga
Memang, nilai perdagangan karbon di Tanah Air pada tahun pertama masih sangat jauh dari potensi ekonomi yang diharapkan. Pemerintah menyebut potensi ekonomi karbon di Indonesia bisa menyentuh Rp3.000 triliun.
Namun, Denny enggan bersikap pesimistis atas pencapaian perdagangan bursa karbon setahun terakhir. Sebab, indikator-indikator pendukung seperti keluasan hutan serta melimpahnya sumber energi terbarukan tidak bisa dinafikan mampu menjadi katalis positif.
“Dari sisi hutan sendiri kita punya banyak. Indonesia paru-paru dunia kan dibilangnya. Terus kita juga punya renewable energy yang banyak. Namun memang, seluruh pemangku kepentingan harus berkomitmen menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah (PR) yang jumlahnya tidak mudah,” katanya.
Beberapa PR yang menjadi sorotan meliputi perihal pajak karbon dalam kaitannya dengan kemampuan teknis penghitungan emisi oleh perusahaan. Saat ini, ungkapnya, kapabilitas menghitung karbon perusahaan di dalam negeri belum mumpuni.
Padahal, hasil penghitungan karbon tersebut menentukan nilai pajak yang akan dibebankan kepada perusahaan sebagai penghasil emisi.
Terkait dengan hal ini, BEI menyelenggarakan kelas inkubasi bertajuk Net Zero Incubator yang bertujuan mengedukasi emiten-emiten dalam menghitung jejak karbon yang dikeluarkan dari aktivitas usaha masing-masing.