Bisnis.com, JAKARTA -- Rugi emiten tekstil asal Sukoharjo PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex bertambah di kuartal I/2024 menjadi US$14,79 juta atau setara Rp242 miliar (kurs Jisdor Rp16.421 per dolar AS, 28 Juni 2024). SRIL juga menyebut akan mengurangi jumlah karyawan hingga 2025.
Berdasarkan laporan keuangannya, Sritex mencatatkan penjualan sebesar US$78,37 juta atau setara Rp1,2 triliun di tiga bulan pertama 2024. Penjualan ini turun 9,83% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$86,9 juta.
Penjualan Sritex didukung oleh penjualan ekspor sebesar US$36,7 juta, yang terdiri dari penjualan benang sebesar US$21,8 juta, pakaian jadi US$13,5 juta, dan kain jadi sebesar US$1,33 juta.
Lalu penjualan lokal senilai US$41,6 juta, yang terdiri dari kain jadi senilai US$17,6 juta, benang US$17,44 juta, kain mentah sebesar US$3,33 juta, dan pakaian jadi sebesar US$3,19 juta.
Sementara itu, beban pokok penjualan SRIL naik 5,65% menjadi US$87,2 juta, dari sebelumnya US$82,5 juta secara tahunan atau year on year.
SRIL mencatatkan rugi bruto sebesar US$88,4 juta di kuartal I/2024. Sebelumnya, di periode yang sama tahun lalu SRIL mencatatkan laba bruto sebesar US$4,36 juta.
Alhasil, rugi tahun berjalan SRIL membengkak menjadi US$14,7 juta atau setara Rp242 miliar. Rugi ini meningkat 49,04% dari kuartal I/2023 yang sebesar US$9,92 juta.
Di sisi lain, SRIL mencatatkan total aset sebesar US$639,2 juta di akhir Maret 2024, turun dari akhir Desember 2023 yang sebesar US$648,9 juta.
Total liabilitas SRIL naik tipis menjadi US$1,6 miliar di kuartal I/2024, dari US$1,6 miliar di akhir 2023.Sementara itu, total defisiensi modal SRIL juga bertambah menjadi US$969 juta di akhir kuartal I/2024, dari sebelumnya US$954 juta di akhir 2023.
Dalam laporan keuangannya, SRIL juga menjelaskan kondisi kelangsungan usahanya saat ini. Dengan rugi dan defisiensi modal tersebut, manajemen Sritex menuturkan kondisi tersebut mengindikasikan adanya suatu ketidakpastian material yang dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan SRIL untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.
Untuk menghadapi kondisi tersebut, SRIL fokus pada upaya peningkatan penjualan dan efisiensi biaya produksi. SRIL akan mengambil langkah seperti pengurangan karyawan berkala hingga 2025.
SRIL mencatat per 31 Maret 2024 memiliki sebanyak 11.249 karyawan. Jumlah karyawan ini telah berkurang dari akhir Desember 2023 yang sebesar 14.138 karyawan.
Baca Juga : Kisah Mendiang Lukminto, Pendiri Sritex Bangun Perusahaan Tekstil Terbesar di Asia Tenggara |
---|
Aturan Kebijakan Impor Tekstil Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan Kemenkeu saat ini sedang memproses perpanjangan aturan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) yang masa berlakunya selesai pada November 2022.
Selain itu, untuk pengaturan BMTP untuk tekstil dan produk dari tekstil (TPT), alas kaki, elektronik, keramik, hingga tas, Kemenkeu masih menunggu surat dari Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian.
“Dari Kemenkeu menunggu surat yang akan disampaikan oleh Mendag dan Menperin, dan mereka pun suratnya diatur dalam peraturan perundang-undangan, entah PP [Peraturan Pemerintah] maupun UU [undang-undang],” katanya dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (27/6/2024).
Dengan demikian, kata Sri Mulyani, Kemenkeu akan merespons dengan melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan perundang-undangan pula.
“Yaitu apakah menentukan bea masuk atau ada measure lain, itu akan kami terus sesuaikan dengan peraturan yang telah diatur di peraturan UU,” jelasnya.
Hal ini guna memberikan perlindungan yang adil dan wajar bagi industri di dalam negeri dalam menghadapi persaingan yang dianggap tidak adil dan tidak wajar dari barang-barang impor.
“Ini terutama dengan munculnya impor dari barang-barang yang berasal dari negara-negara yang memiliki surplus cukup banyak,” kata Sri Mulyani.
Badai PHK Buruh Tekstil
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ungkap sederet persoalan yang memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) belakangan ini.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menyampaikan, sebagai industri padat karya, sektor ini memiliki struktur biaya usaha yang akan semakin mahal dan beban usaha yang semakin besar, mencapai sekitar 30% dari total opex (biaya operasional), yang tidak bisa dikompensasi penuh oleh insentif-insentif pajak industri padat karya.
“Secara struktur bisnis, industri TPT by default akan semakin terbebani dengan biaya usahanya hingga terdesak melakukan PHK, ketika demand pasarnya tidak cukup suportif untuk mengkompensasi kenaikan beban tersebut, atau ketika kenaikan upah minimum jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pasarnya,” jelas Shinta, Kamis (27/6/2024).
Oleh karena itu, lanjutnya, sejak 10 tahun terakhir terjadi pergeseran lokasi usaha industri TPT dari daerah pusat industri besar ke pusat industri baru dengan upah minimum yang relatif terjangkau.
Alasan lainnya, yaitu permintaan pasar industri TPT yang tengah bermasalah. Shinta menuturkan, permintaan untuk industri skala besar dan berorientasi ekspor tengah terganggu akibat perlambatan pertumbuhan permintaan ekspor global, khususnya negara tujuan ekspor besar seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Sebab, kondisi ini telah membuat standar pasar ekspor semakin tinggi lantaran adanya kebijakan keberlanjutan di negara tujuan ekspor. Selain itu, tidak adanya perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) turut menggerus market share di pasar tujuan ekspor.
Sementara itu, untuk industri TPT skala kecil-menengah dan umumnya berorientasi pasar domestik, permintaannya tergerus oleh impor-impor TPT ilegal dan dumping dari negara lain.