Bisnis.com, JAKARTA -- Harga batu bara dalam sepekan telah mencatatkan penguatan, dikala terjadinya peristiwa runtuhnya jembatan Baltimore. Sementara itu, harga CPO yang sempat melemah berbalik arah ke zona hijau dalam sesi perdagangan akhir pekan lalu.
Berdasarkan data Bloomberg yang dikutip Senin (1/4), harga batu bara berjangka kontrak April 2024 di ICE Newcastle pada perdagangan Jumat (29/3) menguat 0,69% atau 0,90 poin ke level 132 per metrik ton. Dalam sepekan, kontrak ini telah menguat sebesar 5,90%.
Kemudian, kontrak pengiriman untuk Mei 2024 juga mengalami kenaikan sebesar 0,68% atau 0,90 poin ke level US$133 per metrik ton. Kontrak ini juga mencatatkan penguatan sebesasr 5,51% dalam sepekan.
Mengutip Reuters, Badan Informasi Energi (EIA) menuturkan bahwa penghentian lalu lintas pengiriman dari Pelabuhan Baltimore, pusat ekspor batu bara terbesar kedua di Amerika Serikat (AS) akan memperlambat pertumbuhan ekspor batu bara Negeri Paman Sam dan mengurangi penggunaan bahan bakar bunker.
“Karena pelabuhan ini merupakan titik transit utama bagi kapal barang dan kapal curah, kami memperkirakan konsumsi bahan bakar bunker akan berkurang,” jelas EIA.
Baltimore menangani ekspor sebesar 28 juta short ton tahun lalu. Sebanyak 19 juta short ton merupakan batu bara uap untuk menghasilkan listrik dan panas. 9 juta ton sisanya adalah batubara metalurgi, bahan pembuat baja.
Baca Juga
Adapun, India merupakan tujuan utama batu bara uap selama lima tahun terakhir, dengan industri manufaktur batu bara merupakan pelanggan utama. Batu bara metalurgi dikirim ke berbagai negara di Asia seperti Jepang, China dan Korea Selatan.
Di lain sisi, mengutip Livemint, produksi batu bara India tengah memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat. Menurut data Otoritas Listrik Pusat (CEA) India mencatatkan peningkatan berlipat ganda dalam penambahan kapasitas pembangkit listrik termal sejauh ini pada tahun fiskal 2024, yakni April-Februari 2024, menjadi 5,75 Gigawatt dibandingkan 450 Megawatt pada tahun sebelumnya.
Harga CPO Ditutup di Zona Hijau
Berikutnya, untuk harga CPO atau minyak kelapa sawit di Bursa Derivatif Malaysia pada April 2024 menguat 72 poin menjadi 4.000 ringgit per metrik ton. Kontrak ini telah melemah sekitar -0,62% dalam sepekan.
Sementara itukontrak acuan, yakni pengiriman Juni 2024, menguat 61 poin menjadi 4.197 ringgit per metrik ton pada sesi penutupan perdagangan Jumat (29/3/2024). Meski demikian, level ini secara mingguan mencatatkan pelemahan sebesar -1,29% dalam sepekan.
Mengutip Bernama, kontrak berjangka CPO di Bursa Malaysia Derivatives diproyeksikan diperdagangkan dengan bias menurun. Hal ini dikarenakan adanya kenaikan harga baru-baru ini diproyeksikan akan mendorong aktivitas ambil untung.
Selain itu, pedagang minyak sawit David Ng juga berpendapat bahwa para pelaku pasar akan fokus dengan cermat laju ekspor CPO dalam beberapa minggu mendatang, untuk mengukur trennya.
“Oleh karena itu, kita akan melihat harga diperdagangkan antara RM4.150-RM4.300 minggu depan,” jelasnya pada Bernama.
Kemudian, pedagang senior Interbrand Group of Companies Jim Teh menuturkan koreksi teknis diproyeksikan terjadi pada minggu ini, dengan perdagangan CPO berada di harga 3.850-3.950 ringgit per ton.
Teh juga berpendapat bahwa stok minyak sawit dari Malaysia dan Indonesia melimpah, lantaran pembeli dari Timur Tengah, China dan India telah mengisi kembali menjelang musim perayaan.
Berdasarkan data Bloomberg, mata uang Ringgit malaysia ditutup menguat 0,20% terhadap dolar AS pada Jumat (29/3). Ringgit yang menguat membuat minyak kelapa sawit kurang menarik bagi pemegang mata uang asing.