Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah fluktuasi ekonomi global yang menantang, Indonesia tetap menunjukkan daya tarik kuat dalam aktivitas Merger dan Akuisisi (M&A), sebagaimana diungkapkan oleh CEO Protemus Capital, Wiljadi Tan.
Perusahaan konsultan yang berfokus pada M&A ini, yang merupakan bagian dari jaringan Geneva Capital Group, mengamati bahwa meskipun ada penurunan aktivitas pada tahun lalu, pasar M&A Indonesia tetap stabil dan menarik bagi investor Asia Tenggara.
CEO Protemus Capital, Wiljadi Tan Menyoroti bagaimana Indonesia berhasil menavigasi tekanan ekonomi global dengan menjaga pertumbuhan dan stabilitas sektor M&A, dalam riset bertajuk “The Asia-Pacific M&A Odyssey: Shaping Factors & Strategic Moves (2019-2023)” yang disampaikan di Jakarta.
Perubahan signifikan dalam dominasi sektor dari telekomunikasi ke energi dan material mencerminkan adaptasi terhadap kondisi ekonomi global dan kemajuan teknologi. Fokus pada inisiatif energi hijau, seperti pengembangan energi panas bumi dan eksplorasi sumber daya alam untuk baterai kendaraan listrik, menempatkan Indonesia dalam posisi strategis di panggung global.
“Stabilitas dan pertumbuhan M&A Indonesia sepanjang tahun 2023 mengalami pergeseran dominasi sektor, refleksi dari pengaruh kondisi ekonomi global atas keberlanjutan bisnis dan kemajuan teknologi,” jelas Wiljadi Tan.
Khususnya, sektor energi dan material di Indonesia mengalami peningkatan aktivitas M&A, didorong oleh kenaikan harga nikel dan kebijakan hilirisasi pemerintah. Sektor keuangan juga menunjukkan stabilitas dengan adanya inovasi dan konsolidasi, menandakan pertumbuhan yang berkelanjutan melalui penggunaan teknologi finansial (FinTech) dan asuransi (InsurTech), serta ekspansi perbankan digital.
Baca Juga
Untuk tahun ini, Protemus Capital memproyeksikan bahwa sektor energi akan tetap menjadi fokus utama, dengan perkiraan pertumbuhan transaksi M&A sebesar 20% menjadi US$ 2,137 juta. Potensi konsolidasi lebih lanjut dalam sektor telekomunikasi, termasuk merger antara Smartfren dan XL Axiata, serta peningkatan konvergensi Fixed Mobile Convergence (FMC) dan penyebaran Fiber-To-The-Home (FTTH) diharapkan akan memicu lebih banyak aktivitas M&A.
Sementara itu, data aktivitas M&A Asia Pasifik pada tahun 2023 menunjukkan penurunan sebesar 34% menjadi US$ 437,2 miliar, dengan transaksi lintas negara yang meningkat, menandakan pergeseran strategi investasi. China dan India mengalami penurunan, sementara Hong Kong mencatat kenaikan transaksi. Meskipun terjadi penurunan dalam transaksi besar, sektor kesehatan diperkirakan akan melihat mega-deals di tahun 2024.
Wiljadi Tan mengakhiri dengan optimisme bahwa aktivitas M&A di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, akan terus tumbuh, didorong oleh kebutuhan strategis untuk akuisisi teknologi, pengembangan pasar, dan diversifikasi portofolio. (Joyceline Munthe)