Bisnis.com, JAKARTA — William Soeryadjaya, menjelang usianya yang ke-70 pada 20 Desember 1992, harus menerima kenyataan pahit atas vonis mati Bank Summa sekaligus kehilangan perusahaan yang dirintisnya, Astra International.
Om Willem saapan akrab William Soeryadjaya terpaksa harus merelakan 100 juta lembar saham PT Astra International Tbk. (ASII) kepada Prajogo Pangestu cs demi menyelamatkan Bank Summa yang didirikan oleh putra sulungnya Edward Seky Soeryadjaya.
Sayangnya, penjualan Astra, perusahaan yang dibangunnya sejak nol, tak mampu mencegah vonis mati Bank Summa.
Om Wilem, yang bernama asli Tjia Kian Liong dan lahir pada 20 Desember 1922, sejatinya tak perlu sampai kehilangan Astra karena merupakan entitas yang berbeda dengan Bank Summa.
Sebagai perusahaan bangkrut, kewajiban Bank Summa hanya sebatas mebayar utang-utang dari jumlah aset tersisa yang masih bisa dijual dan pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas modal yang disetorkan.
Persoalannya adalah Om Willem sudah sejak awal pasang badan untuk menyelamatkan Bank Summa yang dituding oleh Bank Indonesia melanggar batas maksimal pemberian kredit pada grup usaha sendiri.
Saat Bank Summa kalah kliring pada 12 November 1992 sehingga keesokan harinya diskors BI, Om Willem berupaya meyakinkan pemerintah dengan mengajukan jaminan pribadi (personal guarantee) agar Bank Summa tidak ditutup.
Jaminan pribadi ini pula yang kelak menyeret jatuh William dan mengakibatkan lepasnya Astra.
Sebagai informasi, Om Willem dan keluarganya mengempit 162 juta lembar atau sekitar 66% dari total 242 juta lembar saham PT Astra International Tbk. (ASII) yang IPO pada 4 April 1990.
Guna menyelamatkan Bank Summa, Om Willem dan keluarga beberapa kali mengagunkan saham ASII kepada sejumlah pihak hingga yang terakhir kali berupa 100 juta lembar saham kepada dua konsorsium, yaitu konsorsium bank (Danamon Finance, Bapindo, dan Bank Exim) sebanyak 25 juta lembar saham dan konsorsium pengusaha yang dipimpin Prajogo Pangestu sebanyak 75 juta lembar saham.
Pelepasan 100 juta lembar saham ASII dilakukan demi mendapatkan dana segar Rp500 miliar ternyata tak mampu menyelamatkan Bank Summa yang terlanjur didera rush.
Menurut catatan Amir Husin Daulay, Banjar Chaeruddin, B. Wiwoho, dan Marah Sakti Siregar dalam William Soeryadjaya, Kejayaan dan kejatuhannya: Studi Kasus Eksistensi Konglomerasi Bisnis di Indonesia, banyak pengusaha kala itu yang tak percaya seorang konglomerat terkaya kedua di Indonesia, setelah Liem Sioe Liong atau Sudono Salim, bisa tergusur begitu cepat dari kerajaan bisnisnya yang dibangun dari awal bersama adiknya Tjia Kian Tie pada 1967.
Sejumlah konspirasi dan isu seputar kejatuhan Om Willem, yang menjadi yatim piatu sejak umur 11 tahun, pun beredar kala itu dan masih tetap menjadi misteri hingga kini.
Tak urung, kejatuhan Om Willem, pengusaha Tionghoa peranakan yang membumi dan berpulang pada 2 April 2010 pada usia 87 tahun itu memicu simpati sejumlah tokoh.
Ketua Umum PB Nahdlatul Utama (NU) KH Abdurrachman wahid atau Gus Dur, misalnya sempat menyuarakan agar pers dan masyarakat tidak terlalu menghukum William.
Kwik Kian Gie juga ikut bersimpati terhadap musibah yang dialami Om Willem. “Dari lubuk hati yang paling dalam , saya sangat simpati terhadap keluarga Soeryadjaya.”
Bahkan ada juga puisi yang berisikan pernyataan simpati yang dimuat dalam kolom surat pembaca di sejumlah media.
“Mereka menabung sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun ikut kami. Tetapi sekarang, apa yang mereka miliki itu hilang begitu saja. Ditambah lagi, kemungkinan mereka harus kehilangan pekerjaannya. Mohon maaf... maaf...,” ujar Om Willem lirih saat menemui nasabah Bank Summa pada 19 Desember 1992 atau 1 hari menjelang ulang tahunnya yang ke-70.