Bisnis.com, Jakarta -- Harga minyak dunia terus mengalami penurunan signifikan. Pada perdagangan pagi ini, Rabu (13/12/2023), Bloomberg melaporkan harga minyak WTI bertengger pada level $68,4 per barel pada pukul 08.32 WIB. Semakin jauh meninggalkan level US$70 per barel. Dalam waktu perdagangan yang sama, minyak jenis Bren dilaporkan berada pada level US$73,06 per barel.
Saat yang sama harga batu bara juga mengalami pergerakan mengalami pelemahan. Bursa Newcastle mencatat pengiriman batu bara untuk kontrak Desember menjadi US$146.25 per ton atau turun 4,10%. Demikian juga untuk kontrak Januari longsor menjadi US$143.75 per ton atau turun 6,11%
Penurunan signifikan pada harga batu bara mencerminkan fluktuasi pasar energi global, di tengah pergeseran dalam kebijakan energi, permintaan, dan penawaran. Pelaku pasar menunggu keputusan final dari COP28 di Dubai yang sedang membahas arah dunia terhadap kebijakan perubahan iklim termasuk penggunaan energi fosil.
Dilaporkan Bloomberg, para perunding iklim di Dubai pada pagi ini waktu setempat membahas rancangan perjanjian yang menyerukan negara-negara untuk segera beralih dari penggunaan bahan bakar fosil.
Teks kompromi tersebut mewakili penegasan yang lebih kuat mengenai komitmen dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sambil menghindari janji-janji yang bersifat polarisasi dengan menghapuskan bahan bakar fosil seperti minyak dan batu bara. Usulan meninggalkan bahan bakar fosil telah memicu kemarahan Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lainnya.
Sultan Al Jaber, presiden COP28, bertemu secara tertutup dengan para negosiator negara, termasuk dari Arab Saudi, untuk membahas cetak biru dan melakukan finalisasi sebelum mengumumkan resolusi akhir.
Baca Juga
Utusan iklim Amerika Serikat John Kerry, sebelum keluar dari pertemuan tertutup dengan perwakilan Inggris, Norwegia, Kanada dan Australia menyebut pernyataan mengenai bahan bakar fosil sudah semakin kuat dan 'bergerak ke arah yang benar'.
Chief Executive Officer COP28 Adnan Amin, yang merupakan salah satu wakil presiden KTT tersebut, mengatakan kepada Bloomberg News bahwa para negosiator berada di titik puncak kesepakatan.
Draf yang disiapkan ini lebih bersifat deklaratif dibandingkan versi sebelumnya yang dirilis pada Senin malam, yang tidak mewajibkan negara-negara untuk melakukan langkah-langkah spesifik seperti meningkatkan energi terbarukan sebanyak tiga kali lipat dan meningkatkan efisiensi. Draf awal malah menyajikannya sebagai opsi yang 'bisa'mereka ambil. Rancangan yang sedang dibahas pada Selasa malam menyatakan bahwa negara-negara 'seharusnya' mengambil langkah-langkah tersebut.
Perubahan tersebut kemungkinan besar akan mengatasi penolakan dari banyak negara karena hal ini memperkuat dorongan untuk mengurangi emisi.
Pada saat yang sama, perjanjian ini mengakui bahwa negara-negara harus menentukan jalur mereka sendiri 'dengan cara yang ditentukan secara nasional' yang merupakan sebuah konsesi utama. Tentu harus didasarkan pada prinsip tanggung jawab bersama namun berbeda.
Perubahan utama dalam rancangan ini adalah pergeseran dari pilihan sebelumnya yaitu “mengurangi konsumsi dan produksi bahan bakar fosil, dengan cara yang adil, teratur dan merata.” Dokumen baru ini malah akan menyerukan negara-negara untuk mulai “bertransisi dari bahan bakar fosil dalam sistem energi saat ini, dimulai pada dekade ini, dengan cara yang adil, teratur dan merata sehingga dapat mencapai net zero pada tahun 2050 sesuai dengan ilmu pengetahuan.”
Negara-negara akan sepakat bahwa terdapat 'perlunya pengurangan emisi GRK secara mendalam, cepat, dan berkelanjutan sejalan dengan jalur 1,5C' – mengacu pada target Perjanjian Paris yang diupayakan oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara kepulauan kecil.
Ada juga konsesi kepada negara-negara berkembang, yang mencari bantuan untuk mengembangkan perekonomian mereka sambil mengurangi emisi gas rumah kaca. Draf tersebut menekankan perlunya pendanaan dan transfer teknologi sebagai “pendukung penting aksi iklim.”
Pada saat yang sama, mereka juga akan menyerukan kepada negara-negara untuk segera mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap – dimana emisi dari penggunaannya tidak dapat ditangkap. Hal ini mirip dengan deklarasi tahun 2021 sebelumnya, namun lebih jauh lagi adalah dengan mendesak negara-negara untuk membatasi izin pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru dan terus berlanjut.