Bisnis.com, JAKARTA – Fenomena window dressing berpotensi tinggi terjadi di akhir tahun ini dengan beberapa sektor saham yang diandalkan yaitu konsumer dan perbankan.
Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani mengatakan dengan mempertimbangkan historis 10 tahun dari 2013 hingga 2022, potensi munculnya window dressing tahun ini sangat tinggi setelah tahun lalu tidak terjadi.
“Tahun lalu itu anomali, bahkan di tahun 2020 saat IHSG anjlok 5% tapi di Desember tetap saja IHSG melonjak. Jadi sebenarnya terlepas dari sentimen atau kondisi pasar IHSG bisa mencicipi window dressing,” katanya kepada Bisnis, Selasa (7/11/2023).
Arjun mengatakan salah satu sentimen yang menggerakkan IHSG beberapa hari terakhir ini adalah keputusan The Fed menahan suku bunga. Keputusan The Fed kemarin, kata Arjun, mendorong naik pasar saham global terutama pasar negara berkembang termasuk di pasar saham Indonesia.
Terlebih, menjelang akhir tahun ini, sentimen pemilu ikut mempengaruhi pasar saham yang secara historis juga menunjukkan peluang kenaikan karena pengeluaran konsumsi dan penyaluran kredit bank.
Kondisi ini disebut Arjun baik untuk pasar dan mendukung saham-saham terutama sektor konsumer dan perbankan yang biasanya juga terdampak oleh fenomena tahunan ini.
Baca Juga
Jelang akhir tahun, Arjun merekomendasikan investor untuk mulai masuk pasar saham Indonesia. Hal itu karena IHSG masih tergolong undervalued juga dibandingkan pasar saham di peer group. Selain itu kondisi ekonomi domestik yang masih kuat dan resilient serta rupiah yang mulai menguat juga akan menjadi pemikat IHSG nantinya.
“Menjelang pemilu serta potensi window dressing semua mengindikasikan pada saat ini waktu sudah tepat sebagai investor untuk masuk pasar saham,” katanya.
Terpisah, Pengamat Pasar Modal dan Founder WH Project William Hartanto mengatakan window dressing akan tetap ada pada saham-saham tertentu tapi tidak tercermin dari pergerakan IHSG. Pergerakan IHSG sampai akhir tahun masih akan terpengaruh oleh sentimen laporan keuangan dan juga pemilu.
“Efek Pemilu 2024 akan mulai terlihat setelah debat capres, respon pasar akan mulai terlihat,” katanya kepada Bisnis.
Untuk saat ini, menurut William, investor bisa memanfaatkan buy on weakness setiap ada pelemahan seperti yang terjadi hari ini saat IHSG terkoreksi.
“Ini bisa diterapkan pada saham big caps, kalau untuk sektor bisa properti, telekomunikasi, perbankan dan jalan tol,” jelasnya.
Dalam lima tahun terakhir, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), memang IHSG selalu mencatatkan return positif di Desember kecuali tahun 2022.
Sebut saja secara beruntun Desember 2018 dan 2019, indeks komposit mencatatkan kenaikan masing-masing sebesar 2,28% dan 4,79%. Selanjutnya pada Desember 2020 dan 2021 IHSG mampu menguat sebesar 6,53% dan 0,73%. Hanya di Desember 2022 IHSG mencatatkan return negative sebesar 3,26%.
Desember |
% Change IHSG |
2018 |
2,28% |
2019 |
4,79% |
2020 |
6,53% |
2021 |
0,73% |
2022 |
-3,26% |