Bisnis.com, JAKARTA – Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memperkirakan permintaan minyak global akan mencapai puncaknya pada dekade ini. Prediksi ini merupakan yang pertama kalinya di tengah meningkatnya popularitas mobil listrik dan pelemahan ekonomi China.
Perkiraan konsumsi puncak tersebut, yang juga diprediksi oleh IEA untuk komoditas batu bara dan gas alam, tidak berarti penurunan drastis konsumsi bahan bakar fosil akan segera terjadi. Hal ini mungkin akan diikuti oleh ‘jalur bergelombang’ yang berlangsung selama bertahun-tahun dengan emisi yang masih terlalu tinggi untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5C.
Berdasarkan pemaparan dalam World Energy Outlook tahunan IEA pada Selasa (24/10/2023), dunia akan mengonsumsi minyak sebanyak 102 juta barel per hari pada akhir tahun 2020an, dan volumenya akan turun menjadi 97 juta barel per hari pada pertengahan abad ini, menurut skenario dasar, yang disebut Stated Policies Scenario.
"Transisi menuju energi ramah lingkungan sedang terjadi di seluruh dunia dan tidak dapat dihentikan. Klaim bahwa minyak dan gas mewakili pilihan yang aman bagi energi dan masa depan iklim dunia, terlihat lebih lemah dari sebelumnya,” kata Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol, mengutip Bloomberg.
Menurut IEA, permintaan minyak di industri petrokimia, penerbangan dan pelayaran akan terus meningkat hingga 2050 namun hal ini tidak akan cukup untuk mengimbangi penurunan permintaan dari transportasi jalan raya di tengah peningkatan penjualan kendaraan listrik yang luar biasa.
China, yang selama bertahun-tahun telah mendorong pertumbuhan konsumsi minyak mentah global, akan mengalami penurunan selera dalam beberapa tahun ke depan, dengan total konsumsi menurun dalam jangka panjang.
Baca Juga
Sementara itu, konsumsi minyak global akan mengikuti jalur yang sama dengan permintaan hidrokarbon lainnya.
“Kita berada di jalur yang tepat untuk melihat semua bahan bakar fosil mencapai puncaknya sebelum tahun 2030,” kata IEA.
Sebagai informasi, prediksi ini adalah pertama kalinya, ketika semua skenario yang disusun oleh IEA menunjukkan penurunan konsumsi hidrokarbon dalam jangka pendek.
Pada skenario pertama, IEA mencerminkan kebijakan energi yang saat ini diterapkan oleh pemerintah di seluruh dunia dan dampak yang berkelanjutan dari krisis energi tahun lalu.
Skenario kedua IEA, yang mengasumsikan semua negara memenuhi janji energi dan iklim mereka secara penuh dan tepat waktu, memperkirakan permintaan minyak global akan mencapai puncaknya sebesar 93 juta barel per hari pada 2030, dan turun menjadi 55 juta barel per hari pada 2050.
Skenario ketiga, yaitu skenario nol emisi di mana pemanasan global dibatasi pada 1,5C, akan menyebabkan permintaan global turun menjadi 77 juta barel per hari pada 2030 dan hanya di bawah 25 juta barel per hari pada 2050.
Peran OPEC
Menurut laporan IEA, proses dekarbonisasi perekonomian global akan memakan waktu lama dan produsen bahan bakar fosil tetap memiliki pengaruh pada tahun-tahun mendatang.
Dalam skenario dasar, Rusia dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan mempertahankan pangsa gabungan mereka di pasar minyak sebesar 45% hingga 48% hingga akhir dekade ini.
Pada pertengahan abad ini, angka tersebut akan meningkat di atas 50% berkat produksi yang lebih tinggi di Arab Saudi, pemimpin de facto OPEC.
Sebaliknya, Rusia akan kehilangan sekitar 3,5 juta barel per hari, atau kira-kira sepertiga, produksi minyaknya pada tahun 2050, karena negara tersebut kesulitan mempertahankan produksi dari ladang minyak yang ada atau mengembangkan ladang minyak baru yang besar.
IEA juga berasumsi bahwa pada tahun-tahun mendatang Iran dan Venezuela akan mampu meningkatkan produksi mereka berkat pelonggaran sanksi internasional secara bertahap. Namun, seiring berjalannya waktu, IEA memperingatkan kekuatan pasar produsen minyak utama akan menurun.
“Dalam menerapkan pengaruh ini, mereka menguranginya, karena konsumen memiliki semakin banyak pilihan energi bersih yang matang dan menjadi lebih menarik,” kata IEA.