Bisnis.com, JAKARTA — Pembiayaan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) ditargetkan mencapai Rp666,44 triliun pada 2024. Rencana yang tertuang dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 ini naik 83,6 persen jika dibandingkan dengan outlook APBN 2023 sebesar Rp362,93 triliun.
Dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2024 menyebutkan target penerbitan SBN akan dipenuhi melalui dua instrumen utama yaitu SUN dan SBSN baik dalam bentuk rupiah maupun valas dengan tenor 2–50 tahun dan Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPN-S).
Pemerintah akan mengutamakan penerbitan SBN dalam bentuk rupiah di pasar domestik untuk mengendalikan risiko nilai tukar dan untuk mendukung pengembangan pasar keuangan domestik.
Penerbitan SBN akan dilakukan dalam bentuk Obligasi Negara Ritel (ORI), Sukuk Ritel (SR), Saving Bonds Ritel (SBR), dan Sukuk Tabungan (ST) dengan target ke investor institusi dan investor ritel. Pemilihan instrumen dan tenor penerbitan akan mempertimbangkan faktor-faktor antara lain kebijakan pengelolaan utang, biaya penerbitan SBN, risiko pasar keuangan domestik dan global, preferensi investor, dan kapasitas daya serap pasar.
“Selain sebagai pembiayaan umum APBN, SBN khususnya SBSN juga digunakan secara langsung untuk pembiayaan proyek/kegiatan kementerian/lembaga (earmarked),” demikian bunyi penjelasan sebagaimana tertuang dalam Buku Nota Keuangan RAPBN 2024.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan adanya peningkatan pembiayaan dari SBN pada 2024, di tengah penurunan defisit APBN yang disebabkan oleh kenaikan kebutuhan pembiayaan investasi pemerintah. Hal ini tecermin dari besaran nilai realisasi pada tahun sebelumnya.
Baca Juga
Dia mengatakan kenaikan kebutuhan penerbitan SBN yang signifikan ini berpotensi mendorong kenaikan yield bila tidak diimbangi dengan kenaikan permintaan SBN pada 2024.
“Potensi permintaan pada 2024 bergantung pada masuknya investor asing ke Indonesia serta kenaikan permintaan dari mutual funds, dana pensiun, asuransi,” kata Josua, Kamis (17/8/2023).
Josua mengatakan kenaikan permintaan berpotensi terdorong oleh kemungkinan mulainya normalisasi suku bunga global. Dengan demikian, dana asing kembali masuk ke pasar negara berkembang.
Selain itu, Bank Indonesia juga berpeluang menurunkan suku bunganya, sehingga tenor-tenor jangka pendek berpeluang mengalami penurunan terlebih dahulu dibandingkan dengan tenor jangka panjang.