Bisnis.com, JAKARTA — Inflasi Amerika Serikat melanjutkan tren penurunannya pada Mei 2023, meskipun masih berada di atas target The Fed sebesar 2 persen. Ekonom dan Manajer Investasi melihat penurunan inflasi ini dapat dimanfaatkan investor untuk masuk ke aset-aset seperti obligasi hingga saham.
Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Priyadi mengatakan penurunan inflasi umum dan inti CPI AS yang favorable akan berdampak positif terhadap pasar obligasi domestik. Menurutnya, arus masuk modal asing yang sempat terhambat selama 3 minggu terakhir akan kembali berlanjut.
"Akibatnya, yield SBN 10Y berpotensi turun ke 6-6,1 persen bulan ini. Rupiah juga berpotensi terapresiasi ke level Rp14.800 per dolar AS," kata Lionel kepada Bisnis, Kamis (13/7/2023).
Ke depan, lanjutnya, perhatian investor akan tertuju ke data tingkat pengangguran AS dengan ekspektasi naik ke 4 persen untuk menjamin keberlangsungan proses disinflasi AS.
Hal ini juga membuka peluang bagi Bank Indonesia untuk mulai memangkas suku bunga di semester II/2023.
President & CEO Pinnacle Persada Investama Guntur Putra menjelaskan dampak inflasi AS terhadap kinerja aset di Indonesia dapat bervariasi. Saat inflasi AS melandai, menurutnya hal ini berpotensi meningkatkan daya tarik investasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, termasuk aset seperti saham, reksa dana, dan obligasi.
Baca Juga
"Karena tingkat inflasi yang lebih rendah di AS secara tidak langsung dapat mendorong arus masuk [fund flow] modal ke negara-negara seperti Indonesia," ucap Guntur dihubungi, Kamis (13/7/2023).
Akan tetapi, lanjutnya, kinerja masing-masing aset tersebut juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kondisi ekonomi domestik, stabilitas politik, dan sentimen pasar global.
Dari awal tahun dan untuk semester II/2023, Guntur menuturkan Pinnacle cukup bullish pada aset obligasi secara keseluruhan, karena masih terdapat potensi upside. Untuk saham, menurutnya juga masih cukup menarik, tetapi secara karakteristik akan lebih volatil.
Lebih lanjut, menurutnya aset yang dapat menjadi pilihan investor akan tergantung pada profil risiko dan tujuan investasi masing-masing individu. Saham, reksa dana, dan obligasi, kata dia, memiliki kelebihan dan risiko yang berbeda.
Dia menjelaskan saham dapat memberikan potensi keuntungan yang tinggi, tetapi juga memiliki risiko pasar yang lebih tinggi. Lalu untuk reksa dana dapat memberikan diversifikasi dan manajemen risiko yang lebih baik, sementara obligasi cenderung lebih stabil dan cocok bagi investor yang mencari pendapatan tetap.