Bisnis.com, JAKARTA — Pasar surat utang dinilai lebih menarik sebagai instrumen investasi dibandingkan dengan pasar saham. Hal ini lantaran suku bunga yang dinilai sudah mencapai puncaknya, sedangkan saham bergantung pada sektornya.
Senior Economist Mirae Asset Sekuritas Rully Wisnubroto mengatakan pasar surat utang kian menarik dengan menurunnya inflasi, serta suku bunga yang sudah mencapai puncaknya. Adapun suku bunga diperkirakan mulai turun memasuki 2024.
“Jadi, inflasi turun dan suku bunga sudah akan mencapai peak-nya BI kemungkinan tidak akan naik dan lebih besar kemungkinan akan turun dan ini akan berdampak kepada kinerja obligasi yang positif,” ujar Rully dalam Media Day: June 2023 di Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Selain itu, nilai tukar rupiah yang stabil juga berdampak positif bagi surat utang. Menurutnya, nilai tukar yang bergejolak dan mengalami depresiasi secara signifikan akan menimbulkan arus modal keluar atau capital outflow.
Terbatasnya ruang the Fed untuk menaikkan suku bunga acuan dinilai akan memicu terjadinya penurunan suku bunga yang berdampak positif terhadap obligasi. Investor terutama asing juga cenderung masuk ke surat utang dengan jangka pendek sampai menengah.
Dia menyebut investor asing cenderung masuk dalam instrumen surat utang pada tenor 2-5 tahun, dan 5-10 tahun.
Baca Juga
“Biasanya kalau sudah mulai ada kepastian the Fed kapan peak dan tren akan menurun itu baru [investor asing] akan bisa masuk ke jangka panjang,” jelasnya.
Menurutnya the Fed diperkirakan tidak akan menaikan suku bunga lagi dari 5,25 persen. Sementara suku bunga BI akan cenderung flat dalam beberapa bulan ke depan, dan bahkan kemungkinan turun.
Dia pun merekomendasikan surat utang pemerintah seperti Surat Berharga Negara (SBN), Obligasi Negara Ritel (ORI), Savings Bond Ritel (SBR), dan Sukuk Ritel (ST).
Sementara untuk pasar saham, dia menyebut pergerakannya akan lebih terpengaruh dari sisi pertumbuhan perkoenomian. Adapun pertumbuhan perekonomian diperkirakan lebih rendah pada 2023 jika dibandingkan dengan 2022.
Dia mencontohkan ketika adanya penurunan harga komoditas dan juga perekonomian global, maka beberapa negara kemungkinan akan mengalami resesi. Hal ini akan berdampak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
“Jadi untuk saham sendiri mungkin saat ini masih akan tetap flat sepertinya ya. Mungkin ada beberapa lebih selektif kalau untuk sektor-sektor tertentu ya,” katanya.
Dia pun menyebut ada kecenderungan sektor perbankan dapat bertahan dengan kokoh terlepas adanya kenaikan atau pun penurunan pada suku bunga. Sektor properti juga dinilai menarik seiring turunnya suku bunga akan berdampak positif pada penjualan emiten properti.