Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia belakangan mengakui adanya perdebatan ihwal sisa kewajiban divestasi saham yang mesti dilakukan PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) sebagai syarat perpanjangan konsesi tambang yang akan berakhir Desember 2025.
Bahlil menuturkan sisa kewajiban divestasi 11 persen yang selama ini dipegang pemerintah dan INCO sebagai syarat perpanjangan kontrak tidak dipahami serupa oleh BUMN Holding perusahaan tambang PT Mining Industry Indonesia (Persero) atau MIND ID.
Awalnya pemerintah bersama dengan INCO berpendapat sisa saham yang mesti dilepas perusahaan multinasional asal Brasil itu hanya 11 persen saat ini.
Pertimbangannya, INCO telah melepas saham untuk entitas domestik sebanyak dua kali masing-masing dengan porsi 20 persen, sebagai syarat perpanjangan kontrak dengan minimal saham divestasi mencapai 51 persen.
“Tapi BUMN berkeinginan tetap menghitung 51 persen kepemilikannya adalah BUMN itu masih debatable yang harus didiskusikan bersama,” kata Bahlil selepas rapat Komisi VI DPR RI, Jakarta, Jumat (9/6/2023).
Seperti diketahui, pada 1988, INCO menawarkan saham kepada pemerintah Indonesia sebesar 20 persen dari total sahamnya untuk memenuhi persyaratan divestasi. Penawaran saham ke pasar domestik itu menjadi amanat dari Surat Keputusan Direktorat Tambang No.1657/251/DJP/1989 tanggal 23 Agustus 1989, sebagai syarat pemenuhan kewajiban divestasi kepada pihak Indonesia.
Baca Juga
Hanya saja, pemerintah Indonesia serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat itu tidak ada yang menanggapi penawaran saham tersebut. Hasilnya, 20 persen saham itu seluruhnya dilepas ke publik yang tidak langsung digenggam perusahaan pelat merah atau negara yang belakangan jadi pangkal persoalan.
Selanjutnya pada 2020, INCO sekali lagi melepas 20 persen saham ke pihak Indonesia yang kali ini disambut oleh Mining Industry Indonesia (MIND ID). Saat itu, Vale Canada Limited (VCL) melepas sahamnya sebesar 14,9 persen dan Sumitomo Metal Mining Co. Ltd. (SMM) sebesar 5,1 persen seharga Rp2.780 per lembar saham atau senilai total Rp5,52 triliun.
Dengan selesainya transaksi tersebut, kepemilikan saham di INCO berubah menjadi VCL 44,3 persen, MIND ID 20 persen, SMM 15 persen, dan publik 20,7 persen.
Bahlil mengatakan kementeriannya bakal membahas lebih lanjut ihwal sisa kewajiban divestasi tersebut dengan tetap mempertimbangkan bagian negara dan kepastian investasi untuk INCO. Menurut Bahlil, INCO telah memerlihatkan kinerja investasi dan operasi yang berdampak positif bagi perekonomian nasional dan daerah.
“Proses perpanjangan Vale harus mampu memberikan keuntungan ke negara secara bijaksana tapi juga harus mampu menjaga iklim investasi yang sudah dilakukan Vale, karena selama ini investasinya melakukan pendekatan yang baik,” kata dia.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif tidak melihat sisa kewajiban divestasi INCO 11 persen yang selama ini dipahami sebagai perdebatan. Menurut Arifin, INCO telah menjalankan divestasi 40 persen lewat pelepasan sebanyak dua kali sejak penawaran awal 1988 lalu. Kendati, Arifin mengakui, 20 persen saham saat ini dipegang oleh investor publik di pasar.
“Saham yang sudah didivestasi Vale sudah 40 persen, 20 persen diambil BUMN, 20 persen publik. Ke publik karena dulu ditawarkan Vale untuk diambil BUMN, tapi waktu itu BUMN nggak respons dan waktu itu belum ada MIND ID. Untuk itu pemerintah secara resmi menyampaikan ke Vale bahwa sebagai pengalihannya harus di go public-kan dalam negeri, sekarang masih ada sisa 11 persen,” ujar Arifin dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (24/5/2023).
Sementara itu, Komisi VII DPR RI menyoroti ihwal legitimasi kepemilikan 20,64 persen saham INCO oleh publik yang dianggap pemerintah sudah mewakili kepentingan investor dalam negeri.
Lewat sudut pandang itu, pemerintah menegaskan, kepemilikan saham investor nasional yang diwakili MIND ID dan publik sudah mencapai 40 persen, jadi tinggal 11 persen kewajiban sisa divestasi INCO untuk syarat perpanjangan kontrak.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Dony Maryadi Oekon mengatakan, situasi itu menimbulkan persoalan signifkan ihwal legitimasi porsi kepemilikan saham Indonesia di INCO.
“MIND ID menganggap publik itu bukan punya Indonesia saja, karena investornya ada di luar segala macam,” kata Maryadi.
Dia berharap pemerintah bersama dengan MIND ID dapat mencari jalan keluar atas persoalan legitimasi kepemilikan saham publik tersebut yang belakangan dianggap masuk ke dalam kategori investor nasional.
“Pemerintah hari ini menyatakan punya 40 persen, 20 persen satu ini [publik] yang jadi dispute, dianggap BUMN bukan saham publik karena dimiliki oleh orang-orang lain yaitu pasar,” kata dia.