Bisnis.com, JAKARTA - Pasar surat utang atau obligasi Indonesia berpotensi terdampak sentimen global, yakni potensi Pemerintah Amerika Serikat (AS) gagal membayar utang-utangnya.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Keuangan AS Janet Yellen memperingatkan bahwa bencana ekonomi AS dapat terjadi jika kongres gagal menaikkan pagu utang pemerintah yang berujung pada gagal bayar.
Sementara itu di dalam negeri, Indonesia Composite Bond Index (ICBI) menguat 1,02 persen secara bulan berjalan alias month-to-date (mtd), atau setara 3,49 persen secara tahun berjalan (year-to-date/ytd) ke posisi 356,80.
Secara ytd, yield SBN juga mengalami penurunan rata-rata 22,8 bps di seluruh tenor.
Lantas, bagaimana dampak sentimen tersebut terhadap pasar obligasi Indonesia?
Dampak
"Gagal bayar itu akan menyebabkan ketidakpastian global akan meningkat, karena negara sebesar AS tidak bisa menjaga surat utangnya, itu pasti akan berdampak juga ke Indonesia," ujar Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto kepada Bisnis, Minggu (7/5/2023).
Menurutnya, gejolak ekonomi AS juga akan mempengaruhi minat korporasi untuk menahan penerbitan obligasi berdenominasi dolar AS.
"Menurut saya, penerbitan obligasi korporasi lebih banyak dipengaruhi cost of fund. Apabila gejolak di pasar meningkat, otomatis bunga di pasar meningkat sehingga cost of fund juga akan meningkat. Ini yang menjadi pertimbangan korporasi menunda penerbitan surat berharga mereka," lanjutnya.
Kendati demikian, dia mengatakan pasar obligasi Indonesia memiliki ketahanan yang cukup baik meskipun diterpa berbagai gejolak ekonomi global.
"Namun memang di Indonesia saat ini likuiditas di dalam negeri yang menopang pasar sekarang ini sangat baik likuiditasnya, terutama dari perbankan. Sehingga, walaupun potensi suku bunga global naik, namun ternyata yield kita cenderung menurun, artinya pasar menguat karena ditopang likuiditas di dalam negeri yang sangat baik," katanya.
Sebagai pengingat, The Fed melalui pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) memutuskan mengerek suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada kisaran 5-5,25 persen.
Menurut Ramdhan, investor perlu memperhatikan kenaikan suku bunga, karena akan berimbas langsung dengan yield obligasi.
"Jadi investor perlu mewaspadai maupun mengamati bagaimana perubahan suku bunga yang terjadi di pasar, karena ini akan berkaitan langsung dengan perubahan yield surat berharga yang ada di pasar. Jika suku bunga naik, otomatis ekspektasi terhadap suku bunga yang didapatkan dari obligasi juga meningkat sehingga harganya akan berpotensi untuk turun," kata Ramdhan.
Senada, Director & Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Investment Management Ezra Nazula mengatakan pasar SBN Indonesia akan lebih suportif ke depannya dengan ekspektasi pengetatan The Fed telah selesai.
"Dengan ekspektasi The Fed AS telah selesai siklus kenaikan suku bunga nya, dan menguatnya nilai kurs rupiah maka SBN Indonesia lebih suportif kedepannya. Kedepan kondisi pasar SBN akan tetap terjaga dan imbal hasil 10thn bisa turun mengarah 6,25 persen," katanya.
Ezra mengatakan, aset obligasi menjadi pilihan investasi yang menarik ketika siklus suku bunga mencapai puncak, dengan catatan data-data ekonomi AS perlu diperhatikan.
"Yang perlu diperhatikan data-data ekonomi AS yang keluar tidak merubah ekspektasi pasar atas suku bunga. Pada saat siklus suku bunga telah mencapai puncak maka aset obligasi menjadi pilihan menarik," pungkas Ezra.